27. Salah paham

41 3 2
                                    

🍃

Mereka masih berjalan beriringan,setengah menit setelah mereka baru saja keluar dari ruangan guru.

Singto memandangi pemuda manis yang berjalan lemah di samping nya itu. Tak ada semangat sama sekali yang terpancar disana, bahkan wajahnya pun begitu murung dengan tatapannya yang datar.

"Maaf yah." Krist yang hanya terdiam sejak tadi membuat Singto akhirnya membuka suara saat itu. Krist menoleh dengan pelan,tanpa mengatakan hal apapun, namun ekspresi nya memandang dengan bingung.

"Gue gagal bantuin lo buat ngeyakinin para guru. " Sambungnya

Krist tersenyum miris, tatapannya fokus ke arah depan "Gak papa..." Ujarnya sambil melirik ke arah singto

"...lagipula dari kecil dunia emang gak pernah adil buat gue. "

Singto tak mengerti mengapa krist mengatakan kalimat seperti itu. Namun pemuda manis itu menunduk setelahnya.

Singto memberhentikan langkahnya,menahan pergelangan tangan krist dengan lembut. Pemuda itu pun ikut berhenti lalu berbalik dengan wajah lemahnya.

"Krist...jangan ngomong kayak gitu lagi yah? gue gak bisa liat lo kayak gini." Singto melirik sejenak di sekitar koridor yang lumayan sepi. Sehingga ia sedikit lebih berani untuk semakin mengenggam lengan krist.

"Kalau lo nangis, gue jauh lebih ngerasa terluka." Sambung Singto dengan nada yang begitu pelan.

Krist terdiam, mencoba menerawang detail kebohongan yang kemungkinan terpatri di wajah sana, namun nihil...yang ia dapat hanyalah tatapan tulus yang begitu penuh dengan kharisma. Ia bahkan bisa merasakan jantungnya berdegup dengan kencang, entah karena apa. Namun Krist menjawab pertanyaan dalam hatinya sendiri, itu mungkin saja karena kalimat Singto barusan membuatnya tersentuh dan kalimat itu cukup untuk sekedar memenangkan hatinya.

Namun, kalimat Singto selanjutnya membuatnya merasakan sesuatu yang sedikit berbeda..

"Lo seharusnya udah tau, kalau gue sayang banget sama lo,dan gue masih disini menunggu,berharap lo menjawab semua kerisauan hati gue sesuai harapan gue Krist.." Sambung Singto, ia tersenyum dengan sangat manis. Bohong kalau Krist tak luluh mendapat senyuman dan ucapan sehangat itu.

Krist mengangguk, ia bahkan membalas senyuman Singto tak kalah manis, hingga memperlihatkan kembali lesung pipi kecil miliknya.

"Gue ngerti lo butuh waktu buat mikir," Ujar singto kembali "Gue nggak mau ngebuat lo terbebani. Tapi, bolehkan kalau gue juga berharap agar lo gak terlalu lama buat mikirin itu? "

Krist diam sejenak,ia mengerti maksud ucapan Singto barusan. Ia mengerti bahwa pemuda itu hanya merasa gelisah tentang perasaannya. Ataupun berharap agar ia menjawab dengan secepatnya.

"Gue janji bakal kasih jawaban secepatnya... " Krist mengalihkan pandangannya, mencari objek apapun asal tak membalas tatapan Singto yang menatapnya dengan begitu dalam.

"... g-gue masih butuh waktu buat ngertiin p-perasaan gue sendiri. " Sambungnya sedikit terbata bata.
Sedang Singto tertegun, menatap berbinar setelah Krist mengucapkan kalimat itu.

"Yah,secepatnya.." Sambung Krist lagi, ia kini memberanikan diri untuk membalas tatapan Singto. Dan benar saja, ia langsung disuguhkan oleh bulu mata yang begitu lentik dan alis yang begitu tebal membuatnya seakan terhipnotis saat itu juga.

"Iya, jangan lama- lama yah... Gue gak kuat nunggu soalnya. " Rayu Singto sembari mengedipkan sebelah matanya.

Krist buru-buru berbalik, kebiasaan tengil Singto itu selalu berhasil membuatnya salah tingkah. Ia kembali melanjutkan langkahnya dengan pelan merasa lucu sendiri dengan dirinya, padahal ia bisa saja menolak Singto jika ia memang tak memiliki perasaan apapun. Apalagi Singto adalah orang yang begitu baik, dan dia tidak pernah sedikitpun meragukan ketulusan pemuda itu sama sekali. Namun, ada beberapa pertanyaan dalam benaknya. Pertama, setiap berdekatan dengan pemuda itu , dirinya selalu merasakan suatu perasaan yang aneh.

M A N I STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang