[ selamat membaca, jangan lupa dukungannya! terimakasih~ ]
Hari Sabtu adalah waktu Marethia mencuci baju. Sekeranjang pakaian basah yang baru dicuci kini dijemur oleh Thia. Setiap helai digantung sejajar, agar bisa merasakan sinar matahari pagi. Wangi khas pakaian itu menyebar saat diterpa angin, menciptakan aroma segar yang menyegarkan suasana.
Thia bersenandung ria, membenarkan ikat rambutnya yang seringkali turun menganggu kegiatan. Kemudian ia lanjutkan menata setiap helai baju yang telah ia jemur.
"Cuci baju udah, beres-beres rumah juga udah, tinggal menyirami tanaman sama ngerjain PR PPKn," gumamnya membuat jadwal, keranjang baju tak berisi itu kembali ia angkat untuk ia bawa pulang.
Namun ketika ia berjalan, ia mendengar suara sesuatu. Suara lembut yang mampu membuat Thia menoleh sepenuhnya. Suara itu cukup keras dari rumah tetangga, tanpa ragu membuat Thia berjalan mendekat, masih dengan keranjang yang ia bawa.
"Pagi, Nenek," sapa Thia kepada tetangga rumahnya. Nenek Utara namanya, beliau adalah nenek Thia, hanya saja keduanya tinggal dirumah yang berbeda. Usianya lebih dari 80 tahun, kalau tidak salah, kaki nya sudah terlihat rapuh sehingga jarang keluar rumah. Beliau tinggal bersama asisten rumah tangga.
"Thia?" panggil Utara sembari menyipitkan matanya, memastikan bahwa gadis berambut hitam panjang itu adalah Thia.
"Halo, Jenggala," sapa Thia sembari terduduk lesehan di teras, menyapa kucing orange besar yang tak kalah sepuh dengan Utara.
"Habis cuci baju?" tanya Utara kepada Thia yang sibuk mengelus bulu halus Jenggala.
"Iya, sengaja mampir soalnya denger Jenggala mengeong," balas Thia lembut. Suasana rumah kecil sederhana penuh tumbuhan indah itu terasa begitu nyaman dan rindang.
"Jenggala nggak mau makan, daritadi dia mengeong keras sekali," jelas Utara dengan lembut, kursi goyang yang ia duduki bergerak sesuai irama. Sedetik kemudian Jenggala naik keatas paha Utara untuk tidur.
"Sepertinya perasaan Jenggala sedang tidak enak," lanjut Utara, tangan keriputnya mengelus perhatian bulu orange Jenggala yang lembut.
Thia menatap Jenggala sejenak, ia ikut mengelus bagian kepala Jenggala, membuat kucing orange itu memejamkan mata. "Jenggala kenapa, kok nggak mau makan?" tanyanya pada kucing tersebut. Normalnya kucing orange adalah kucing yang aktif, namun lihatlah Jenggala, ia terlihat tidak bertenaga sama sekali.
Yang Thia dapatkan selanjutnya hanyalah suara Jenggala mengeong serak, nyaris tidak terdengar. Sepertinya kucing itu sedang sakit.
"Sepertinya dia merindukan Raden," ucap Utara lembut, Jenggala mengeong lagi, seolah mengiyakan ucapan Utara.
"Kakek?" tanya Thia memastikan. Seingat Thia selama ia dibesarkan oleh Nenek Utara, Raden adalah nama suami Nenek Utara. Beliau tidak pernah menampakkan diri sedari Thia masih kecil, namun nama itu juga tidaj terdengar asing di telinganya.
"Benar. Raden, dan keluargamu, mereka dulu memanjakan Jenggala," jawab Utara.
Thia menghela nafas perlahan, kepalanya bersandar di paha Utara, bersama dengan Jenggala yang telah tertidur tenang. Deru nafas Jenggala terlihat tenang, ia mendengkur seolah nyaman berada di posisinya sekarang.
"Mereka memanjakan kucing, tapi tidak memanjakan ku," gumam Thia pelan, meratapi kehidupannya yang tinggal sendirian tanpa keluarga. Selama ia tinggal disini, keluarganya adalah Nenek Utara, tidak ada yang lain. Bahkan mengenal kedua orangtuanya saja juga tidak.
"Kamu terlihat sangat kelelahan, Thia," ujar Utara sembari mengelus surai hitam panjang Thia. Helai itu semakin panjang setiap tahunnya, mungkin tahun depan bisa mencapai mata kaki. Thia balas dengan anggukan pada pernyataan Utara.
KAMU SEDANG MEMBACA
ETHEREAL
Fantasy[ PERINGATAN! ] Cerita ini akan membawa anda ke dalam perjalanan yang menakjubkan dari dunia fantasi yang indah. Namun, bersiaplah untuk menghadapi kenyataan yang keras dan petualangan yang penuh rintangan. Pastikan bahwa anda siap untuk menyelami d...