002

952 92 2
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Saat langkahnya menjauh, ada bagian dari jiwa yang merasa seolah terlepas, seolah hanya bisa lengkap ketika kedekatannya masih terasa.




***




Pagi itu, udara masih dingin dan segar, meski matahari sudah mulai mengintip di balik gedung-gedung tinggi kota Seoul. Minsik menyiapkan sarapan di dapur, berharap bisa menikmati pagi yang tenang setelah kejadian semalam. Namun, ketika dia kembali ke ruang tamu dengan roti panggang dan dua cangkir susu, dia terkejut melihat Karina sudah berdiri di depan pintu, siap pergi.

Minsik melihat dengan jelas bahwa Karina masih mengenakan dress tipisnya-dress satu tali yang sama seperti semalam. Gaun itu jelas tak cocok untuk melawan cuaca dingin pagi itu, bahkan mungkin terlalu dingin untuk sekadar berdiri di dekat pintu rumah.

"Karina, kamu mau ke mana?" tanya Minsik, bingung. "Kamu tidak bisa pergi keluar seperti itu."

Karina tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak bisa menyembunyikan rasa canggungnya. "Aku benar-benar tidak bisa tinggal lebih lama," katanya, nadanya pelan. "Kamu sudah sangat baik membantuku semalam, dan aku tidak ingin mengganggumu lebih lama."

Minsik menggeleng pelan, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia memandang Karina dari atas ke bawah. Tubuhnya jelas masih menggigil sedikit meski dia berusaha terlihat tegar. Udara pagi yang dingin merembes ke dalam rumah, membuat suasana semakin tak nyaman. "Kamu tidak bisa keluar hanya dengan mengenakan dress itu. Udara di luar terlalu dingin."

Karina menunduk, tampak ragu sejenak sebelum menjawab, "Aku tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa dengan dingin. Aku harus pergi sebelum merepotkanmu lebih jauh."

Minsik menahan napas, mencoba meredam keinginan untuk memaksa Karina tinggal. Dia tahu betul perempuan ini sepertinya keras kepala, tapi dia juga tak bisa membiarkannya pergi tanpa perlindungan yang cukup dari cuaca dingin. Apalagi, semalam sudah cukup jelas betapa rapuhnya Karina dalam kondisi seperti ini.

"Kalau kamu memang merasa harus pergi, aku tidak akan menahanmu," ucap Minsik akhirnya. "Tapi setidaknya, bawa mantel ini. Aku tidak akan tenang membiarkanmu pergi dengan pakaian seperti itu."

Dia meraih mantel tebal yang tergantung di gantungan dekat pintu dan menawarkannya pada Karina. "Kamu bisa bawa ini. Aku masih punya mantel yang lain."

Karina menatap mantel itu, tampak ragu. Dia jelas tidak ingin menerima terlalu banyak dari Minsik, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak bisa menolak dengan alasan yang masuk akal. Dengan anggukan kecil, dia akhirnya mengambil mantel tersebut.

"Terima kasih," ucapnya pelan sambil mengenakan mantel itu. Gaun tipis yang dia kenakan tenggelam di balik lapisan tebal mantel Minsik, membuatnya terlihat sedikit lebih hangat. Namun, Karina tetap menolak untuk menatap Minsik langsung, seolah-olah rasa terima kasih yang dia rasakan terlalu besar untuk diungkapkan dengan kata-kata sederhana.

A Melody In The Silent Night | Winrina ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang