***
Malam itu, suasana di rumah terasa berbeda dari biasanya. Keheningan yang menggantung di antara Minsik dan Karina terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang tidak terucapkan, sesuatu yang menghalangi keduanya untuk bersikap seperti biasa.
Minsik duduk di lantai dengan laptop di atas meja rendah, sibuk mengetik, matanya terpaku pada layar, meski pikirannya tidak sepenuhnya terfokus pada pekerjaan. Di sofa yang berada tak jauh darinya, Karina duduk sambil menonton televisi, meski matanya hanya menatap kosong ke arah layar. Mereka berada di ruangan yang sama, namun rasanya seperti ada jarak tak kasat mata yang memisahkan mereka.
Keduanya berusaha keras untuk tidak membicarakan apa yang terjadi di malam di tempat kemah. Minsik fokus pada pekerjaannya, mengetik dengan cepat seolah-olah ingin melupakan semuanya. Sementara itu, Karina hanya memainkan remote televisi, berganti-ganti saluran tanpa benar-benar memperhatikan apa yang sedang ditayangkan.
Waktu terus berjalan, dan keheningan itu mulai terasa semakin mencekam bagi Karina. Setiap detik yang berlalu membuatnya semakin tidak nyaman. Akhirnya, ia memutuskan untuk membuka suara, meskipun ia sendiri tidak yakin apakah itu akan membuat segalanya lebih baik atau justru semakin canggung.
"Minsik." Karina memulai dengan suara pelan, namun cukup jelas untuk terdengar di tengah keheningan. Minsik berhenti mengetik sejenak, meski ia tidak langsung menoleh. Melihat itu Karina kembali melanjutkan, "Jika kamu merasa tidak nyaman, kamu bisa melupakan saja kejadian itu. Aku akan menganggap itu sebagai salah satu dari tugasku untuk... melayanimu."
Mata Minsik segera terbelalak, menatap Karina dengan ekspresi tidak percaya. Ucapan Karina barusan menyentak kesadarannya, "Apa maksudmu, Karina?" suara Minsik terdengar sedikit marah, nyaris dingin. Ia menutup laptopnya dengan cepat, menatap Karina yang tampak bingung dengan reaksi mendadaknya.
"Maksudku," Karina mencoba menjelaskan, meskipun suaranya mulai terdengar ragu. "Aku tahu kamu mungkin merasa canggung. Aku tidak ingin membuatmu merasa tidak nyaman. Kamu bisa menganggap kejadian itu sebagai bagian dari pekerjaanku, seperti halnya ketika aku melayani pria-pria itu."
Mendengar kata-kata itu, Minsik langsung bangkit dari tempat duduknya, hatinya bergejolak dengan berbagai emosi. Ia berdiri di depan Karina, menatapnya tajam, penuh dengan sesuatu yang sudah lama ia tahan.
"Jangan samakan aku dengan pria-pria itu!" Minsik berseru, suaranya terdengar lebih keras dari yang ia inginkan. "Aku tidak melihatmu seperti mereka melihatmu. Apa yang terjadi di danau itu bukan karena aku ingin memanfaatkanmu. I-itu perasaan yang tulus."
Karina menatap Minsik, benar-benar terkejut. Perasaan bingung bercampur dengan keterkejutan yang semakin membuat hatinya berdebar kencang. "Tulus? Aku tidak mengerti, Minsik. Apa maksudmu?" Karina menatap Minsik dengan raut wajah kebingungan, mencoba mencari penjelasan.
Minsik menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan. Matanya menatap langsung ke arah Karina, mencoba menyampaikan perasaannya yang sebenarnya selama ini. "Aku tahu ini mungkin terdengar aneh bagimu, Karina. Tapi, aku tidak bisa terus menyimpan ini lagi. Aku rasa, aku menyukaimu. Bukan sebagai teman, bukan sebagai seseorang yang kebetulan tinggal bersamaku."