***
Sudah berhari-hari Karina tinggal di rumah Minsik, dan setiap hari, hubungan keduanya semakin dekat. Minsik tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya, begitu nyaman dan seolah ada seseorang yang benar-benar mendengarkan setiap keluh kesahnya. Karina, meskipun awalnya canggung, mulai terbiasa dengan rutinitas baru mereka, walau terkadang ponselnya terus berdering dengan panggilan dari mucikarinya, membuatnya terperangkap dalam kecemasan yang selalu ia sembunyikan di balik senyum tenang.
Malam itu, seperti biasa, keduanya duduk di depan televisi, sebuah drama komedi Korea diputar di layar. Minsik duduk dengan santai di sofa, wajahnya penuh antusias saat menceritakan segala hal yang terjadi di kantor hari itu. Tangannya bergerak-gerak, menggambarkan kejadian-kejadian lucu atau mengesalkan yang dialaminya di kantor.
"Dan kamu tahu apa yang terjadi selanjutnya, Karina? Giselle menumpahkan kopi ke keyboardnya sendiri! Bisa kamu bayangkan? Dia benar-benar panik!" Minsik tertawa keras, matanya bersinar ketika dia menceritakan detil-detil kecil yang membuat harinya di kantor lebih hidup.
Karina tersenyum tipis, meskipun pikirannya tak sepenuhnya berada di tempat itu. Ponselnya yang diletakkan di meja kopi bergetar pelan, dan dia menoleh sekilas ke layar yang berkedip, memperlihatkan nomor yang tidak asing.
Dia menghela napas pelan, berusaha agar Minsik tidak menyadarinya. Sudah beberapa hari ini ponselnya tak henti-hentinya menerima panggilan dan pesan dari mucikarinya, menuntut Karina kembali bekerja. Setiap kali dia melihat pesan itu, perasaan takut dan terjebak menyergapnya, tapi ada sesuatu di rumah ini—Minsik—yang membuatnya ingin bertahan, seolah untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia menemukan tempat di mana dia bisa pulang.
Namun, betapapun kerasnya Karina berusaha mengabaikan pesan-pesan tersebut, tekanan itu tetap ada, menggumpal di dadanya hingga membuatnya resah.
"Karina?" Minsik menghentikan cerita panjangnya ketika dia menyadari Karina yang hanya tersenyum kecil namun tidak sepenuhnya fokus. "Kamu baik-baik saja?"
Karina tersentak dari lamunannya, dan senyumnya mengembang lebih lebar, berusaha menutupi kegelisahan yang menghantui pikirannya. "Iya, maaf. Aku hanya sedikit lelah," jawabnya pelan.
Minsik menatapnya penuh perhatian, menurunkan nada suaranya. "Kalau kamu lelah, kamu bisa tidur lebih awal. Aku tidak ingin mengganggumu dengan ceritaku."
Karina menggeleng cepat, menahan tangan Minsik yang hendak mengambil remote untuk mematikan TV. "Tidak, aku senang mendengarnya, sungguh. Teruskan saja. Aku suka mendengar ceritamu."
Minsik tersenyum, tampak lega. Dia melanjutkan ceritanya, kali ini tentang Eunchae yang baru saja membeli sepatu mahal namun tak bisa memakainya karena ternyata ukurannya salah. Cerita-cerita sederhana seperti itu selalu bisa membuat Minsik tertawa, dan tawa itu menular pada Karina.