***
Pagi itu, Minsik terbangun dengan perlahan. Matahari sudah mulai menyelinap melalui tirai kamar tidurnya, menyinari sudut-sudut ruangan dengan cahaya lembut. Dia menguap dan duduk di tepi tempat tidur, mengusap wajahnya sambil berusaha mengusir rasa kantuk yang masih menggelayuti.
Namun, ada sesuatu yang aneh. Dia mengendus, mencium aroma wangi dari dapur. Aroma yang lezat memenuhi ruangan, membuat perutnya yang masih kosong meronta minta diisi. Dia bangkit dari tempat tidur, mengenakan kaus longgar, lalu berjalan keluar kamar menuju ruang tamu.
Pandangannya langsung tertuju pada meja makan kecil yang ada di dekat dapur. Di sana, tersaji sepiring nasi goreng yang tampak sangat menggugah selera. Wajahnya semakin menunjukkan kebingungan ketika dia melihat sosok Karina sedang berdiri di dekat wastafel, mencuci piring dengan tenang. Lengan Karina yang masih dihiasi beberapa bekas lebam bergerak perlahan saat dia membersihkan alat makan dengan telaten.
"Karina?" panggil Minsik pelan, setengah bingung, setengah prihatin. Dia berjalan lebih dekat dan menatap Karina dengan ekspresi bertanya. "Kamu sudah bangun sejak kapan? Dan kenapa kamu memasak?"
Karina menoleh dengan senyuman tipis di wajahnya, seolah-olah tidak ada yang aneh dari apa yang dia lakukan. "Aku bangun lebih awal. Kupikir kamu pasti lapar, jadi aku buatkan sarapan."
Minsik mengerutkan kening, menatap piring nasi goreng di atas meja. "Tapi kamu tidak perlu melakukan semua ini. Kamu masih butuh istirahat. Luka-lukamu masih belum sembuh."
Karina hanya tertawa kecil, tapi tawanya terdengar getir. "Kamu lupa, Minsik? Kamu menyewaku, kan? Mulai sekarang aku harus mengurusmu dan rumahmu." Ucapannya keluar dengan nada tenang, namun penuh arti, seolah-olah apa yang dia katakan adalah suatu hal yang sudah pasti dan tidak bisa diganggu gugat.
Perut Minsik tiba-tiba terasa sesak mendengar kata-kata itu. Sewa. Kata itu bergaung dalam pikirannya, membawa kembali ingatan tentang percakapan emosional semalam. Saat itu, dalam kebingungannya, dia memang mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya dikatakan. Dan sekarang Karina tampaknya benar-benar menganggapnya serius.
"Karina bukan itu maksudku." Minsik mencoba menjelaskan dengan lembut. "Aku tidak bermaksud menyewamu untuk melakukan semua ini. Maksudku, kamu tidak perlu merasa terpaksa melakukan hal-hal seperti ini hanya karena aku bilang begitu kemarin."
Namun, Karina menggelengkan kepalanya dengan tegas, meletakkan piring yang sudah dicuci ke rak. Dia mengeringkan tangannya dengan handuk kecil dan berbalik menatap Minsik dengan sorot mata yang tidak bisa diterjemahkan dengan mudah.
"Kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa, Minsik," kata Karina dengan suara lembut namun mantap. "Aku tahu situasinya tidak sempurna. Tapi ini cara hidupku sekarang. Aku sudah terbiasa bekerja untuk bertahan hidup. Dan kamu sudah berbaik hati padaku. Jadi, kalau kamu bilang mau menyewaku, aku akan mengurusmu sebaik mungkin."