***
Malam semakin larut, dan udara dingin dari danau meresap ke dalam tenda tempat Minsik dan Karina beristirahat. Lampu-lampu kecil dari tenda-tenda lain, yang sebelumnya menyala satu per satu, mulai padam, menyisakan kegelapan yang hanya diterangi oleh sinar bintang di langit yang jauh. Di dalam tenda, kedua gadis itu berbaring bersebelahan dalam keheningan yang canggung, meskipun masing-masing berusaha tampak tenang.
Minsik dan Karina menatap langit-langit tenda dengan pandangan kosong. Pikiran mereka melayang ke berbagai arah, meski tubuh mereka hanya terbaring di atas alas tidur yang tipis. Masing-masing berusaha memejamkan mata, tetapi rasa aneh yang tiba-tiba muncul dalam diri mereka sulit untuk diusir. Seolah ada sesuatu yang membuat keduanya merasa tidak seperti biasanya.
Minsik, yang biasanya percaya diri, tiba-tiba merasa hatinya berdebar. Ia mencoba mencari posisi yang nyaman, namun setiap gerakan kecil membuatnya semakin sadar bahwa di sebelahnya ada Karina. Ada keheningan yang menyelimuti, tetapi bukan keheningan yang menenangkan. Justru keheningan itu dipenuhi oleh kecamuk perasaan yang tidak bisa ia jelaskan.
Sementara itu, Karina juga merasakan hal yang sama. Ia berusaha mengatur napasnya agar tetap tenang, tapi hatinya seolah berlari cepat. Biasanya, tidur di dekat gadis lain tidak pernah menjadi masalah baginya, tetapi malam ini terasa berbeda. Ia tidak mengerti mengapa, tapi setiap kali ia mengingat Minsik yang hanya beberapa sentimeter darinya, perutnya terasa melilit.
Di tengah keheningan, Minsik tiba-tiba memutuskan untuk berbalik. Ia berharap, dengan menghadap Karina, suasana akan terasa lebih santai. Namun, saat ia memutar tubuhnya, Karina juga berbalik ke arahnya. Keduanya terkejut, mata mereka bertemu dalam jarak yang sangat dekat, hanya terpisahkan oleh hembusan nafas yang perlahan.
Mata Minsik membesar, sementara Karina menatapnya dengan kebingungan. Mereka saling menatap, tak ada satu pun yang berani berpaling. Ketegangan aneh menyelimuti mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan, seolah waktu berhenti di dalam tenda sempit itu.
Minsik akhirnya memecah keheningan dengan suara pelan, hampir seperti bisikan. "Tidak heran kalau mucikari dan pria itu terus mengganggumu. Kamu terlihat, cantik."
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Minsik, tanpa ia sadari sepenuhnya. Matanya terpaku pada wajah Karina yang tampak terkejut mendengar ucapan tersebut. Seketika, pipi Karina berubah merah, panas merambat di wajahnya. Detak jantungnya yang sebelumnya sudah cepat kini berdetak lebih kencang. Ia tidak menyangka Minsik akan mengucapkan hal seperti itu, terutama dalam situasi yang mencekam ini.
Begitu menyadari apa yang baru saja ia katakan, Minsik langsung panik. Wajahnya memerah, dan ia tergagap mencari cara untuk meralat ucapannya. "Aku, maaf, aku tidak bermaksud."
Tanpa menunggu lebih lama, Minsik cepat-cepat membalikkan tubuhnya, membelakangi Karina. Wajahnya memerah, dan rasa malu menggelayuti hatinya. Bagaimana mungkin ia mengatakan hal semacam itu? Niatnya hanya untuk memberikan pujian, tetapi mengapa semuanya terasa begitu aneh sekarang?