Setelah ciuman dan pernyataan cinta itu, mereka menyelesaikan masakan dan membawa semangkuk ramen ke ruang televisi. Di sana, mereka duduk berdampingan di sofa, berpelukan, sembari menonton film romantis berjudul Midnight Sun yang dipilih Vivian.
Bermuda tak bisa menahan senyumnya. Hatinya berbunga-bunga. Hanya dalam waktu seminggu sejak pertemuan pertama mereka di halte bus, Vivian kini sudah resmi menjadi pacarnya. Dulu, dengan mantan-mantannya, Bermuda butuh waktu berbulan-bulan untuk pendekatan, tapi dengan Vivian semuanya terasa lancar, seperti jalan tol tanpa hambatan.
Bermuda mengelus rambut basah Vivian yang bersandar di bahunya. Entah kenapa Vivian sangat manja saat ini. "Rambutmu masih basah," gumam Bermuda lembut.
Vivian mendesah kecil, merasa nyaman dengan sentuhan itu. "Nggak apa-apa, nanti juga kering."
Mereka terdiam sejenak, menikmati kebersamaan yang tenang dan nyaman. Namun, Bermuda kemudian merasa penasaran dengan kehidupan pribadi Vivian. Selama ini, mereka lebih banyak membahas hal-hal sepele, dan Bermuda belum tahu banyak tentang latar belakang gadis itu.
"Kamu tinggal di sini sendiri?" tanya Bermuda tiba-tiba, memecah keheningan. Ya, mulai saat ini aku dan kamu yang akan Bermuda pakai ketika mengobrol dengan Vivian, pacarnya.
Vivian tersenyum tipis. "Iya, aku sebatang kara. Kedua orang tuaku meninggal waktu aku SMP, kecelakaan pesawat."
Bermuda menoleh dengan tatapan kaget. "Oh, maaf, aku nggak tahu... Aku..."
Vivian menggeleng. "Nggak apa-apa. Aku sudah terbiasa. Mereka selalu ada kok di hati aku."
Bermuda merasa iba. "Aku benar-benar minta maaf, Vivi. Kamu pasti kuat banget bisa melewati semuanya sendirian."
Vivian tersenyum, walau matanya sedikit berkilat, tanda bahwa luka itu masih ada meski dia mencoba tegar. "Ya, begitulah hidup. Aku berusaha terus tegar dan tetap hidup. Ditambah sekarang aku punya kamu."
Dalam hati, Bermuda berjanji untuk menjaga Vivian, gadis yang baru ia kenal namun sudah begitu berarti baginya. Ia ingin menjadi sandaran, seseorang yang bisa diandalkan oleh Vivian, bukan hanya sebagai pacar, tapi juga sebagai sahabat yang akan selalu ada di sisinya.
"Oh iya," Bermuda tiba-tiba teringat sesuatu. "Lusa, bundaku ulang tahun. Keluargaku mau ngadain makan malam kecil-kecilan. Kamu mau ikut? Sekalian ketemu ayah bundaku."
Vivian tampak sedikit ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. "Aku akan datang."
Mereka melanjutkan obrolan sambil memakan ramen yang sudah mulai dingin. Vivian bercerita tentang hari-harinya di sekolah. "Olivia dan Lacy tadi ngajak aku keliling sekolah. Mereka nggak henti-hentinya nyuruh aku masuk marching band. Olivia mau pensiun, dan katanya Lacy butuh mayoret pengganti."
Bermuda tertawa. "Kamu mau?"
Vivian mengangkat bahu. "Mau nggak mau harus ikut, soalnya aku belum ikut ekskul apa pun."
Obrolan mereka terus berlanjut hingga malam semakin larut. Akhirnya, Bermuda pamit untuk pulang.
"Tapi, sebelum aku pergi..." Bermuda meraih tangan Vivian dan mengecupnya lembut. "Jangan lupa, lusa kita ketemu lagi."
Vivian tersenyum lembut dan mengangguk. Bermuda pun pergi melesat menaiki mogenya.
Baru saja satu menit berlalu, terdengar ketukan terdengar dari luar. Vivian terdiam, sedikit bingung. Apa Bermuda meninggalkan sesuatu?
Vivian pin menuju pintu. Dengan perlahan, dia membuka pintu. Di balik pintu itu, berdiri seseorang yang tak terduga.
Orang itu merentangkan tangannya, menawarkan pelukan pada Vivian. Sejenak, Vivian terkejut, napasnya tertahan. Namun, kemudian dia tersenyum dan berlari masuk ke dalam pelukan orang itu.
"I miss you."
Instagram: @andwyansyah
KAMU SEDANG MEMBACA
Ballad Of Highschool Teenager
Novela JuvenilBermuda tidak tahan lagi. Mereka semua palsu. Mereka semua telah mengkhianatinya. Pikiran tentang mengakhiri segalanya merayap masuk, semakin jelas di benaknya. Mungkin satu-satunya cara untuk lepas dari rasa sakit ini adalah dengan mengakhiri hidup...