16.Ular

28 12 16
                                    

Di sepanjang perjalanan ketika langit sudah mulai berwarna jingga, mereka akan selalu menikmati perjalanan untuk menghempaskan rasa  lelah, dengan cara berbicara tentang kehidupan. Saat ini, Zela berusaha tetap tenang meski otaknya berulang-ulang menyebut nama Renja, sahabatnya.

Hembusan napas kasar berasal dari Zela, membuat Raya serta Yerra menoleh kearahnya.

"Kenapa, Zel?" Tanya Yerra.

"Renja..." Lirih Zela.

Siapapun pasti mengerti perasaan yang melanda Zela saat ini. Baginya ini sulit, tentu saja.

"Perkara melupakan memang tidak instan, antara otak, hati dan waktu harus bekerja sama. Pelan-pelan saja." Tutur Yerra sembari memperagakan letak otak dan hati.

"Kalau keadaan kayak gini, perihal kehilangan bukan lagi hal baru, kan?"

Benar, apa yang Raya ucapkan barusan adalah gambaran keadaan saat ini. Dan apa yang Yerra ucapkan adalah hal yang harus ia lakukan, meski sulit. Sebab bayang-bayang sahabatnya itu setia menetap dalam hatinya.

"Bener." Zela setuju.

"Jadi yang harus gue lakuin... Melupakan? Gak bisa.." Gumam Zela. Sejujurnya ia masih sangat kesulitan.

"Ya bukan berarti harus melupakan.." Sahut Yerra.

"Lepas, ikhlas, tuntas." Singkat Raya.

Mendengarnya, Yerra manggut-manggut. Ia setuju, meski tak semua orang bisa melakukan itu dengan mudah. Tapi ikhlas adalah jalan lurusnya.

"Nama dia Renjana, kan?" Tanya Yerra secara tiba-tiba.

"Pantes aja lu susah lupain dia." Lanjutnya sembari terkekeh pelan.

"Emangnya, kenapa?" Zela bertanya-tanya, apa maksudnya?

"Renjana itu artinya rasa hati yang kuat. Seperti cinta, kasih, dan rindu." Sahut Raya.

"Pantes." Kata Zela


Sudah cukup jauh, team dua melewati wilayah yang luas dan ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan.

Arlin selaku anak kecil di team mereka, yang diposisi gendongan di punggung Raya. Tangan kecilnya memeluk leher Raya dengan erat.

Rasanya sudah cukup jauh mereka menyusuri Jenggala yang lebih didominasi oleh pepohonan tersebut.

"Kakak nggak capek?" Tanya Arlin secara tiba-tiba, yang membuat Raya mengangkat kedua alisnya. sebab suara kecil nan serak terdengar jelas ditelinga.

Raya menggeleng singkat, sembari tersenyum tipis yang jelas Arlin tidak menyadari hal itu.

"Aku mau jalan sendiri aja, kak." Ujar Arlin.

"Nggak apa-apa, lin. Kakak gendong sampe ke sana, ya." Jawab Raya yang menunjukkan dagunya ke arah depan sedangkan ia sendiri tak tahu menuju kemana.

"Jangan, kak, jauh. Arlin mau jalan sendiri sama kayak kakak-kakak lain." Pinta Arlin sekali lagi. Terlihat agaknya Arlin tahu seberapa jauh lagi perjalanan mereka.

Tak ingin mengecewakan Arlin, mau tak mau dengan berat hati Raya berjongkok guna menurunkan Arlin dari punggungnya.

Arlin meraih jari-jemari Raya yang di baluti Hansaplast lantaran beberapa senjata yang tidak sengaja mengenai tangannya. Arlin tersenyum manis seraya menggandeng tangan Raya.

"Makasih, ya, kak." Kata Arlin. Dibalas senyuman yang tak kalah manis oleh Raya.

Namun ternyata, baru saja beberapa langkah yang Arlin tempuh sebelum lebih jauh lagi. Tiba-tiba saja kakinya terantuk batu, ia berakhir jatuh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Thousand Zombie Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang