Sherly menunggu taksi yang dipesan melalui sebuah aplikasi. Lama menunggu, taksi yang dipesan tak kunjung datang, malangnya tampilan taksi pada layar aplikasi tidak jalan, masih tetap berada di titik awal.
Sedangkan saat ini, Sherly harus sampai satu jam sebelum pukul lima sore. Tidak mungkin jika naik ojek motor, pasalnya Sherly membawa beberapa dokumen. Akan terasa berat kedua tangannya jika terus memeluk dokumen tersebut.
"Masih nunggu? Mau bareng?"
Tidak pagi, siang, di kantin, di lift, bahkan di lobi gedung kantor selalu bertemu dengan sosok laki-laki yang ia hindari. Ada apa sebenarnya? Apakah laki-laki itu memasang GPS di tubuhnya? Masalahnya selalu bertemu.
"Tidak perlu," jawab Sherly.
Oliver melihat angka pada jam di tangannya. Tidak kehabisan akal, Oliver terus berusaha agar mantan istrinya mau diantar olehnya.
"Daripada nunggu lama, nanti klien kamu kecewa dan membatalkan kontrak kerjasama, bagaimana? Nggak kasihan sama karyawan yang bekerja?"
Tapi ada benarnya juga ucapan Oliver, kalau masih bertahan menunggu yang ada Pak Chandra membatalkan kerjasama. Berapa banyak jumlah uang yang seharusnya masuk ke perusahaan Dream Picture, malah masuk ke perusahaan lain.
Tanpa basa-basi, Sherly langsung membuka pintu belakang mobil Oliver. Harapan tidak sesuai kenyataan, berharap Sherly duduk di depan, malah di belakang, terasa supir pribadi.
"Kenapa? Buruan jalan!" ucap Sherly tegas.
"Oke, mau diantar kemana?" tanya Oliver tersenyum.
"Penerbit Republika di Jagakarsa," jawab Sherly. Kemudian Sherly membatalkan pesanan taksi online di layar ponselnya.
Dalam perjalanan menuju kantor yang dituju, tidak ada sama sekali percakapan baik dari mulut Oliver ataupun Sherly. Benar-benar hening, bahkan yang terdengar hanya suara berisik kendaraan yang memiliki knalpot ribut. Seperti inilah kehidupan Kota Jakarta, jumlah kendaraan roda empat dan roda dua saling bersaing. Terkadang, ada saja tingkah laku pengendara motor yang suka sembarangan menyalip mobil, entah karena terburu-buru atau hanya sekedar gaya-gayaan semata.
"Kenapa nggak lewat tol?" tanya Sherly. Sebenarnya sederhana saja, Oliver ingin berlama-lama bersama Sherly, lagipula belum jam empat sore. Tidak akan terlambat, jikapun terlambat, tidak sampai setengah jam, pihak klien akan mengerti.
"Oliver!" panggil Sherly dengan nada sedikit tinggi.
"Aku lupa," jawab Oliver singkat.
"Kalau kontrak kerjasama ini batal dengan pihak penerbit, aku tidak segan-segan akan memukulmu," ucap Sherly galak. Oliver tertawa mendengar Sherly yang mengancamnya.
"Ternyata kamu banyak berubah," ungkap Oliver. Sherly tidak ingin harinya kacau, jadi lebih baik mengacuhkan laki-laki ini di depannya.
"Bagaimana keadaan di London sana?"
"Seperti yang kamu lihat," ucap Sherly.
"Tidak ada pesta penyambutan atas kembalinya dirimu. Boleh aku buatkan acara itu?" tawar Oliver sambil melirik sosok Sherly melalui kaca spion.
"Tidak usah macam-macam!" sanggah Sherly. Dirinya tidak ingin sosok Oliver selalu berputar dalam hidupnya. Bertemu dengannya selama satu menit membuat dirinya gerah.
Oliver sangat senang melihat respon Sherly yang berpura-pura galak dan tegas terhadapnya. Tapi pada kenyataannya, Sherly tetap tidak bisa macam-macam padanya. Sungguh manis sekali mantan istrinya jika sudah kesal dan marah. Padahal dulu, Sherly sangat sabar dan lembut. Mungkin efek angin London yang membuatnya banyak mengalami perubahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My-Ex [On Going]
RomanceSherly dan Oliver adalah sepasang suami istri lima tahun silam. Oliver yang tidak percaya Sherly berani menduakan cintanya, terpaksa mengikuti neneknya yang memiliki sifat patriarki untuk menceraikan Sherly. Setelah lima tahun lamanya, mereka berdua...