Chapter 4 - Tidak Setara

217 54 44
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
.
.
.
.

Pagi ini Sintia mendapat telepon dari orang tua Kafka, menanyakan soal perjodohan anak mereka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi ini Sintia mendapat telepon dari orang tua Kafka, menanyakan soal perjodohan anak mereka. Sedangkan Khaula masih mandi untuk siap-siap berangkat ke kantor.

"Perjodohan? Bukannya nggak jadi, ya, Bu?"

"Gak jadi?"

"Iya, anak saya bilang anak ibu yang nolak perjodohan mereka."

"Apa iya? Kafka nggak ada bilang apa-apa, tuh, Bu. Dia malah cerita pertemuannya sama Khaula lancar. Cuma memang belum buat keputusan mau lanjut atau enggak."

"Coba Ibu tanyakan dulu ke Kafka. Biar semuanya jelas. Soalnya setahu saya mereka nggak jadi ketemu."

"Ooh begitu, ya. Kayaknya saya dibohingin, nih. Baik, Bu, kalau begitu. Terima kasih, ya. Wassalamu'alaikum."

Sintia meletakkan ponsel saat tangan kanannya sibuk mengaduk nasi goreng di wajan. Dengan fakta Kafka yang menolak putrinya, sudah membulatkan keputusan untuk tidak meneruskannya lagi. Ibu Khaula tidak asal-asalan menjodohkan putri semata wayangnya, jelas dia sudah melihat bibit bebet bobot keluarga Kafka. Sebenarnya sangat disayangkan kalau tidak jadi, tapi bila anak mereka tidak mau mana bisa dipaksakan? Khaula akan menikah dengan anak lelakinya, bukan dengan keluarganya. Itu poin penting.

Sintia meniriskan nasi goreng yang akan dimakan sebagai sarapan ke piring. Begitu selesai ketukan di pintu terdengar. Sintia bergegas memakai kerudung yang tersampir di kursi dan berjalan ke ruang tamu.

Ketika pintu sudah dibuka dia melihat sosok tinggi di depan.

"Assalamualaikum, Tante."

"Waalaikumussalam. Eeeh, Nak Kahfi. Pagi-pagi begini ada apa?"

"Saya mau kembalikan mangkuk yang kemarin itu, Tante. Maaf lupa. Tadi waktu sarapan liat mangkuknya di rak, dan baru ingat kalau saya harus kembalikan. Sekali lagi saya minta maaf."

"Nggak papa, tenang aja. Wah, ini apa?" Sintia melihat ada makanan dalam mangkuk itu.

"Itu makanan buatan saya buat sarapan tadi. Namanya tamago sando."

"Hah? Apa?"

"Sandwich, Tante. Isi telur."

Orang tua itu mengangguk seolah paham padahal masih merasa aneh dengan makanan di tangannya. Mirip sando isi buah tapi ini isi telur. Emangnya enak? Begitulah ekspresinya sekarang.

"Makasih ...." Belum usai mengucapkan, Sintia melihat Kahfi yang tiba-tiba membalikan tubuh, memunggunginya. "Loh?"

"Iya, sama-sama, Tante. Saya pulang dulu." Terlihat lelaki itu buru-buru meninggalkan halaman rumah, bahkan dia hampir menabrak motor Khaula yang terparkir manis di sana.

Dear KahfiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang