Ketika keluar dari kamar, samar-samar Galen mendengar suara tangis perempuan. Seketika tubuhnya merinding, karena suara tangis itu sama seperti suara kuntilanak yang biasa ia tonton di film horor. Sekarang sudah jam delapan malam. Bagi sebagian orang jam delapan masih terlalu awal untuk tidur, tapi di daerah rumahnya jam segini sudah termasuk larut. Ia bahkan tidak pernah keluar dari rumah lebih dari jam tujuh malam. Selain karena jalanan gelap, suasana di luar rumah cukup mencekam.
Dengan perlahan, Galen menutup pintu di belakangnya. Kakinya melangkah, mendekati suara tangis yang didengar. Tatapan Galen tertuju pada sofa panjang. Di sana ada Bitha dengan posisi tengkurap, seluruh tubuhnya tertutup selimut kecuali bagian kepala. Lalu di depan wajah Bitha ada sebuah iPad yang menyala. Sepertinya perempuan itu sedang nonton sebuah film.
"Bitha," panggil Galen dengan suara rendah.
Bitha mendongak. Pipinya basah, lantaran air matanya tidak bisa berhenti keluar. "Kenapa, Mas?" tanyanya sebelum membersit hidungnya yang penuh ingus.
"Kamu ngapain?" Galen balas bertanya.
"Aku lagi nonton."
"Kenapa sampai nangis sesenggukan kayak gitu?" tanya Galen bergidik ngeri.
"Ceritanya sedih banget, Mas. Aku jadi ingat sahabatku. Semenjak tinggal di sini, aku nggak pernah chat atau video call dia."
"Kenapa?"
"Soalnya di hp-ku yang sekarang nggak ada nomor dia. Cuma nomor keluarga aja. Sama ketambahan nomornya Tante Lala sama Mas Galen." Bitha mengubah posisinya menjadi duduk.
Galen ikut duduk di sebelah Bitha. "Suara tangismu kayak suara kuntilanak."
"Enak aja!" seru Bitha panik. "Jangan ngomong kayak gitu. Aku itu takut sama hantu. Pokoknya jangan bahas soal hantu-hantu," lanjutnya.
"Terus, kenapa waktu itu nanya soal pocong?"
"Penasaran aja. Soalnya banyak yang bilang di kandang ayam identik sama pocong."
Galen berdecak sambil geleng-geleng kepala.
Bitha mematikan iPad-nya. Kemudian ia duduk bersila menghadap ke Galen. "Mas, kayaknya waktu itu si Santi bilang mau ngajak Mas Galen nonton bioskop, kan?" tanyanya yang diangguki oleh Galen. "Emang di sini ada bioskop?" tanyanya penasaran.
"Ada di mall."
"Jauh nggak?"
Galen mengangguk.
"Berapa jam?"
"Sekitar dua jam."
"Lama banget...."
Galen mengedikkan bahu. "Dari sini ke jalan raya aja butuh satu jam. Wajar kalo mau ke mall butuh waktu dua jam."
"Keburu tua di jalan," gerutu Bitha. Tiba-tiba ia melihat Galen meninggalkannya. Tentu saja Bitha kebingungan ditinggal oleh Galen. Laki-laki itu masuk ke kamar dan tak lama kemudian muncul dengan membawa sesuatu. "Apa itu?"
"Kalo kamu mau nonton, bisa dari rumah aja. Emang nggak bisa nonton film yang lagi diputar di bioskop, tapi paling nggak kamu bisa nonton dari netflix, viu, disney, atau aplikasi yang lain."
Bitha baru sadar sesuatu yang dibawa Galen adalah mini proyektor. "Wow, aku baru tau Mas Galen punya kayak gitu."
"Karena bioskop jauh, makanya beli satu buat di rumah."
Senyum Bitha langsung terkembang sempurna. "Coba Mas Galen pasang, biar kita bisa nonton berdua," pintanya semangat.
Kebetulan tembok rumah bewarna putih dan tidak ada hiasan apa pun yang menempel di tembok, bisa dijadikan tempat untuk menonton. Setelah selesai memasang, kemudian Galen mengambil posisi duduk di sebelah Bitha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitha for the Beast
ChickLitMenjadi putri dari pasangan pengusaha dan cucu seorang politikus terkenal membuat hidup Tsabitha Alisha Mahawira tidak bisa bebas. Perempuan yang biasa dipanggil dengan nama Bitha selalu memiliki pengawal yang selalu mengikutinya, mencegah dirinya a...