Sejak kecil Bitha tidak pernah menerima bentakan. Terkadang orang tuanya memang suka meninggikan suara saat kesal padanya, tapi tidak pernah membentak sampai membuatnya ketakutan. Ini kali pertama dia dibentak. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Tenggorokannya tercekat, tidak ada suara yang keluar dari sana. Sekuat tenaga dia menahan agar tidak menangis.
Dibentak oleh orang lain membuat Bitha merasa kecil. Ditambah lagi dibentak oleh orang yang dia suka. Bitha sampai harus meremas ujung bajunya karena bentakan keras Galen. Bukan hanya nada suara Galen yang meninggi, ekspresi wajah Galen seketika mengeras dan terlihat menahan amarah.
Setelah cukup lama memberi tatapan tajam pada Bitha, akhirnya Galen langsung jongkok dan memunguti satu persatu pecahan kaca yang bercecer di lantai. Bahkan laki-laki itu tidak menyuruh Bitha untuk menyingkir agar tidak terkena pecahan kaca.
"Maafin aku." Setelah mengatakan itu dengan suara bergetar, Bitha melangkah melewati pecahan kaca dan berlalu pergi dari kamar Galen.
Begitu masuk ke kamarnya sendiri, tangis Bitha seketika pecah. Dia sudah menahan diri sekuat tenaga agar tidak menangis, tapi ternyata pertahanan dirinya tidak sekuat itu. Ia mengunci pintu kamar dan duduk di pinggir kasur. Dia menangis sesenggukan dengan suara pelan.
Ketika menunduk kepalanya, Bitha baru menyadari kalau ternyata kakinya berdarah. Bahkan rasa sakit di kakinya tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan bentakan Galen.
Setelah beberapa menit menangis, Bitha meraih tisu dan mulai mengelap darah di telapak kakinya. Dia beruntung tidak ada pecahan kaca yang menempel di kakinya. Hanya luka gores yang menyebabkan darah keluar dari kakinya.
Bitha berjalan ke kamar mandi untuk membilas kakinya yang terluka sebelum menempelkan plester luka. Bitha merasa gelisah karena kejadian di kamar Galen. Di satu sisi ia menyadari kesalahannya yang terlalu lancang sudah masuk ke kamar Galen, tapi di sisi lain ia kecewa dengan sikap yang ditunjukkan Galen.
Suara ponselnya berhasil membuat Bitha tersadar dari lamunannya. Ia meraih ponselnya dan melihat nama Maminya terpampang di layar. Bukannya langsung menjawab, ia hanya memandangi ponselnya sampai tidak berbunyi lagi. Setelah menghapus air matanya dan berulang kali berdeham untuk menormalkan suaranya, ia menghubungi Maminya.
"Hai, Mami tadi telfon tapi nggak kamu jawab."
"Iya, aku habis dari kamar mandi," dusta Bitha. Ia berbaring miring sambil memegang ponsel.
"Mama ada kabar baik dan kabar buruk buat kamu. Kamu mau dengar yang mana dulu?"
"Kabar buruk dulu," jawab Bitha tanpa semangat. Dia lelah karena terlalu lelah menangis. Apalagi menangis karena hal yang menurutnya tidak perlu ditangisi.
"Kabar buruknya, masa liburanmu di rumah Galen akan segera selesai."
Bitha diam. Setelah kejadian barusan yang menimpanya, ia malah lega saat tahu bisa pulang dalam waktu dekat.
"Kabar baiknya, semua masalahmu udah selesai. Papi udah urus semuanya dan mantanmu itu nggak jadi ngelaporin kamu ke polisi."
"Oh ya?"
Tak lama muncul wajah Papinya di layar ponsel. "Kamu tenang aja. Setelah ini kamu bisa pulang tanpa harus mikirin masalah yang kemarin-kemarin."
"Kapan aku pulang?"
"Lusa Mami akan suruh Eran untuk jemput kamu."
"Besok aja."
"Hah?" Mami nampak terkejut mendengar itu.
"Aku dijemput besok aja, Mi."
"Lho? Kenapa?" tanya Mami dengan wajah heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitha for the Beast [Completed]
Romanzi rosa / ChickLitMenjadi putri dari pasangan pengusaha dan cucu seorang politikus terkenal membuat hidup Tsabitha Alisha Mahawira tidak bisa bebas. Perempuan yang biasa dipanggil dengan nama Bitha selalu memiliki pengawal yang selalu mengikutinya, mencegah dirinya a...