1

1K 74 34
                                    

Seanatio Agni membalikkan tubuhnya dengan mengurutkan kening penuh kebingungan di lorong kampus tempatnya mengajar.
Suara lantang dari seorang mahasiswa memanggilnya dengan langkah lebar hampir berlari, Sea sendiri hanya ingat dia salah satu mahasiswa yang kerap berada di kelasnya.

"Pak Agni" teriaknya sekali lagi dan berhasil membuat langkahnya berhenti.

Seanatio, jika di rumah akan di panggil dengan Sea namun di kampus ia lebih di kenal dengan sebutan Agni atau hanya para mahasiswa yang memanggilnya begitu.

"Kenapa?" tanya seorang yang di panggil dengan sebutan Pak Agni.

"Bapak yakin saya harus merevisi sebanyak ini?" terpampang jelas raut wajah tak percaya mahasiswanya dengan tumpukan kertas putih di tangannya.

Begitu helaan nafas tercipta, "Saya kecewa dengan tugasmu kali ini" ucap Sea dengan nada yang berat.

Bukan lagi menebak sebanyak apa yang akan mahasiswanya revisi, setalah lingkaran yang di buat menghiasi hasil tugas mahasiswanya.
Di kenal dengan sebutan manusia perfeksionis, apapun keadaannya selalu menuntut sempurna, tapi jangan lupa mahasiswa juga manusia bukan Tuhannya.

"Maaf, pak"

Banyak sekali mahasiswa penganut sekte SKS (Sistem Kebut Semalam) berujung menjawabnya dengan asal-asalan, tidak logis.

"Saya menyuruh kamu mengembangkan teorinya bukan menguraikan pada sesuatu yang tidak masuk akal pada akhirnya, saya juga tidak suka tata bahasa yang kamu gunakan kali ini" Jelas Sea penuh dengan nada ketidaksukaan.

"Siapa namamu?" tanyanya lagi

"Adelia Candra, pak" jawab mahasiswanya.

"Ya, Adelia Candra. Saya tunggu tugas ini satu minggu lagi" jawab dosen perfeksionis itu tanpa iba.

Yang di ketahui bahwa mahasiswa bernama Adelia Candra itu hanya mendelik tak percaya dengan ucapan dosen di depannya kali ini, ingin menyangkal kembali namun mata dosennya menyiratkan kata seolah-olah "Saya serius"

Dengan membenarkan tas di bahunya, Sea kembali melanjutkan langkah, meninggalkan mahasiswanya yang masih menatapnya tak percaya. Si Pak Agni ini memiliki kesan mengintimidasi dan selalu menuntut sempurna sesuai standarnya, selain itu menurut para mahasiswanya Pak Agni ini tidak pernah bermain-main dengan perkataannya. Jarang sekali para mahasiswa mencari gara-gara di kelasnya atau sekedar menitip absen.

Dan untuk menyelamatkan citra buruknya di mata mahasiswa, Tuhannya menganugerahkan Seanatio Agni dengan penampilan yang menarik, di usia 33 tahunnya, perawakan yang dimilikinya hampir sempurna. Tubuh tinggi penuh wibawa, membuat setiap langkah menarik perhatian orang sekitar tanpa diminta dan karismanya yang jarang dimiliki setiap orang.

//

Sea mendorong pintunya hingga terbuka, sebelum melangkah masuk. Rumah yang sudah menjadi sangkarnya, Setelah ia menjadi dosen tetap di salah satu kampus terkenal di kota pelajar itu. Setelah melepas sepatunya, meletakkan tasnya dan diikuti oleh jaketnya yang tergeletak di sofa kecil ruang tamunya.

Dengan sedikit tenaga yang tersisa, dia melangkah menuju dapur, membuka lemari pendingin dan mengambil sekaleng soda. Hanya dengan beberapa tenggukan, satu kaleng soda itu habis, setidaknya sedikit menyamarkan rasa lelahnya saat butiran udara itu meletus di mulutnya. Hidup jauh dari kedua orangtuanya sedikit memberikan pelajaran untuk bertahan hidup tanpa campur tangan orang lain, meskipun ibunya penduduk asli Jogja, ia harus ikut ke Bandung bersama suaminya.

Entah sudah berapa kali perayaan ulangtahunnya ia ingat sendiri, tanpa orang lain yang mengulurkan tangan untuk memberikan selamat atau sebuah doa. Pagi tadi sebelum Sea melangkah keluar rumah, ia sempat menyiapkan brownies coklat yang dibelinya dan disimpan kedalam lemari pendingin, kini tugasnya memanaskan dengan microwave untuk perayaan kecil-kecilannya, iya, sendirian. Setelah mendapat lilin kecil dari tahun sebelumnya yang dia simpan di lemari dapur dan menyalakannya dengan korek api.

Di meja makan, dengan brownies coklat dan lilin diatasnya, dia memandang api yang menyala-nyala itu dengan menggumamkan doanya. "Doaku masih sama seperti tahun sebelumnya, tolong segera akhiri kesendirianku dengan cara apapun itu" dengan beratnya tiupan dan rasa sesak di hati yang menyelimutinya, api itu berubah menjadi asap yang menari-nari.

Sejenak dia merenung, pasrah bukan berarti tidak memiliki harapan. Percikan nostalgia dalam diri saat ucapan selamat ulang tahun yang ia dapat dari banyaknya orang sekitar beberapa tahun silam yang mulai memudar semakin menyesakkan, "Andai saja aku tidak sendirian saat ini" lirihnya lagi.

Rasa manis setalah sesendok brownies masuk kedalam mulutnya cukup mengobati hatinya, meskipun hatinya masih bercengkrama dengan sepi yang tidak asing lagi. Tepat sendok terakhir dari brownies itu masuk kedalam mulutnya, ketukan di pintu mengundang perhatiannya. Bergegas meletakkan perkakas dan melangkah ke arah pintu, rasa ingin tau memuncak, siapa yang bertamu di hari kebetulan ini?

"Mas Sea"

Panggilan akrab yang Sea ketahui siapa pemilik suara dan tidak ingin berlama-lama untuk membuka pintunya.

"Bude Wahyu, pripun?" tanya Sea dengan sopan dengan orang tua di hadapannya yang hampir berjalan dengan membungkuk.

"Sampean di cari sama anak ini, mas" ucap Bude Wahyu yang datang bersama seorang gadis kecil di sampingnya.

Sea hanya menatap bingung, sejak kapan dia memiliki tamu seorang gadis kecil yang tingginya tak lebih dari pinggangnya?

Ia dengan cepat sadar, "Enggeh bude, maturnuwun" balas Sea melangkah mendekat untuk membantu bude Wahyu turun dari dua tangga kecil di depan rumahnya.

"Tak anter nggeh bude?" tawar Sea yang tak enak karena untuk melangkah pun susah dan jarak antara rumahnya dan rumah bude Wahyu sekitar empat rumah dari rumahnya.

"Ndak usah mas, bude bisa. Sudah itu tamunya di suruh masuk dulu" tolak bude membuat Sea bingung namun rasa penasarannya semakin membuncah saat pandangannya bertemu dengan gadis kecil di depan pintu rumahnya itu.

Setelah Sea menghampiri dengan tatapan bingung, di sapanya Sea oleh gadis itu.

"Hai!" suara riang penuh percaya diri itu menyapanya.

"Kamu Seanatio Agni, bukan?" pertanyaan itu keluar dari mulut mungil gadis kecil berdiri sambil tersenyum lebar penuh kegembiraan.

Ekspresi tak percaya sudah tak bisa Sea sembunyikan kembali.

"Siapa kamu?" ucap Sea penuh pertanyaan saat dahinya berkerut secara naluriah.

"Namaku Kitty, aku putrimu" jawab gadis kecil itu dengan senyuman yang tak pudar.

"Oh, Sial" umpat Sea tak sadar, namun tak mempengaruhi senyuman dari gadis kecil di hadapannya.

"Apa kamu bercanda? putriku?" tanyanya, suara sea penuh kebingungan dan tak percaya.

"Aku Kitty, putrimu!" suara gadis itu sedikit meninggi untuk meyakinkan.







Haii..
Apa kabar kalian?

Jujur deh, emangnya kalian ga suka ya kalau yang dominan Ci Shani?
Kasih tau alasannya dong.
Dan cerita ini ngga akan panjang, ngga sepanjang yang sebelumnya.

Aku buat cerita ini biar lengkap aja semua versinya, semoga suka ya.
Kalau ada saran dan kritik bisa langsung di komentar.

Jaga kesehatan, jangan lupa ibadah.
Sampai jumpa dibab selanjutnya,
Jangan lupa votenya, semangat!








Make it Right Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang