Cahaya mentari pagi menerobos masuk ke dalam kamar bernuansa dominan hitam itu, melewati tirai tipis yang terpasang di jendela.
Sang pemilik kamar terlihat sama sekali tak terganggu, masih bergelung nyaman di balik selimut. Betul-betul tak ada niatan untuk bangun walau waktu telah menunjukkan pukul enam lewat tiga puluh pagi.
Namun pada akhirnya, tidur nyenyak itu harus terganggu kala dering ponsel di atas nakas terdengar berisik di telinganya. Mata itu terbuka perlahan, sedikit menyipit guna menyesuaikan cahaya yang masuk.
Karel terbangun, memegangi kepalanya yang masih terasa pusing. Dirinya lantas melihat sekeliling, ini kamarnya. Tunggu, bagaimana ia bisa berada disini, padahal seingatnya ia masih berada di markas semalam. Siapa yang—
"Sialan! Karel bodoh!" Karel mengumpati dirinya sendiri saat ingatan soal kejadian semalam tiba-tiba terlintas di kepala.
Bagaimana bisa dirinya sampai lepas kendali seperti itu? Sungguh sekarang karel tidak tahu bagaimana cara menghadapi Shaka setelah apa yang ia lakukan pada pria itu.
Haruskah ia menghindar? Minta maaf? Atau berpura pura tak ingat apapun?
"Ah udahlah! Itu di pikirin nanti." Karel beralih mengambil ponselnya. Ada puluhan panggilan tak terjawab dari Gani. Oh Gani pasti mencarinya semalam.
Karel mengirim beberapa pesan pada Gani, mengatakan bahwa kemarin dirinya di jemput seorang teman. Balasan dari Gani selanjutnya membuat Karel bisa bernapas lega. Syukurlah dia percaya dan tak banyak tanya.
Menyimpan kembali ponselnya di atas nakas, Karel memilih bersiap untuk pergi ke sekolah. Mandi sebentar lalu memakai seragam juga sepatu, hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit untuk itu.
Lepas bersiap, niatnya ingin langsung berangkat seperti biasa, tapi suara berisik dari arah dapur membuatnya menghampiri tempat itu. Lantas keberadaan seseorang disana membuat Karel tiba-tiba menjadi gugup.
“Oh Karel, udah mau berangkat? Sini sarapan dulu.”
Karel berjalan kaku ke meja makan yang memang menyatu dengan dapur. Matanya bergerak kesana kemari, mengikuti arah gerak seseorang disana yang sibuk menyiapkan makanan. Mulutnya beberapa kali terbuka, ingin mengeluarkan kata tapi pada akhirnya selalu gagal karena lidah yang tiba-tiba terasa kelu.
“Sorry ya, cuma bisa masak ini,” ucap Shaka setelah meletakkan satu piring berisi telur dadar, sosis goreng, dan nasi hangat di meja makan.
Sedangkan Karel di tempatnya masih bimbang. Tangan itu meremas ujung sandaran kursi makan dengan gelisah, sebelum menarik napas panjang lalu berucap walau sedikit tergagap.
“Shaka, soal kemaren, g-gue—”
“Gak papa, semalem Lo mabuk. Gue ngerti kok, lupain aja. Anggap gak pernah terjadi apa-apa kemaren, ya?” Shaka tersenyum, mempersilahkan Karel untuk duduk di kursinya.
“T-tapi…”
“Yuk cepetan makan, keburu telat nanti.”
Karel menurut pada akhirnya, duduk di kursinya dan mulai memakan hidangan yang tersedia.
Kendati Shaka bilang tidak usah terlalu dipikirkan, Karel tentu saja tidak bisa melupakannya begitu saja. Kejadian semalam menciptakan perubahan besar pada dirinya, terlebih tentang bagaimana perasaan itu menjadi tak karuan.
***
Kerikil di tepi jalan itu jadi pelampiasan saat rasa bosan mulai melanda. Revan sudah menunggu hampir tiga puluh menit, tapi yang ditunggu tak kunjung juga kelihatan batang hidungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Best (Boy) Friend
Подростковая литератураMereka yang harus berpura-pura asing antara satu sama lain. Apa yang sebenarnya terjadi? ‼️P E R H A T I A N‼️ Cerita ini mengandung unsur boyslove, yang tidak suka harap menyingkir, terimakasih 😊 ©thursdayliu Start : 06/08/24 End : ?