Prolog

47 11 27
                                    

"Cinta pada pandangan pertama itu nyata, karena aku merasakannya!"
_Zivalia Cilia




Berulang-ulang aku melirik arloji yang melingkar di tangan kananku. Berulang pula aku mengembuskan napas, entah sudah yang ke berapa. Bangunan tua yang separuhnya bangunan baru ini mulai sunyi senyap. Apalagi, langit mendung sudah mulai mengerubungi awang-awang Surabaya.

Aku duduk, menatap tetesan-tetesan yang jatuh dari atas sana. Kemudian aku melirik tanah yang diam dan tenang. Aku pernah kehujanan, dan itu rasanya sakit. Lantas, mengapa tanah hanya diam setelah disakiti bertubi-tubi?

Aku memukul pipiku sendiri, menarik diri ke dalam dunia asli. Ah ya sudah pukul berapa ini? Tepat, sudah pukul 17.00. Sudah sore, bahkan sekitar satu jam lagi senja akan berkunjung. Itu artinya aku telah menunggu sekitar dua jam, karena waktu belajar telah usai pukul 15.00 tadi. Kini aku merasa tubuh bahkan bokongku, mulai kram akibat terlalu lama duduk tak melakukan hal lain.

Di sini, aku menduduki kursi panjang yang usianya lebih tua dariku. Di depan ruang guru aku menanti, ketika para guru telah kembali ke rumah untuk istirahat. Namun tidak dengan yang satu itu.

Seorang guru pria, euh tunggu sebelum aku melanjutkan ceritaku aku rasa kali ini segalanya telah tertebak. Tepat sekali! Aku menyukainya. Dia guru termuda di sekolah ini, dan hal lainnya dia adalah guru baru. Kurang lebih, satu bulan dia menggenggam pekerjaannya sebagai guru fisika.

Meski hanya sebagai guru pengganti, tak menjadi penghalang cintaku ini bersemi. Guru sebelumnya sedang berada di sekolah lain, seperti bertukar sekolah. Aku pun tak tahu dinamakan apa, namun kata murid-murid di sekolahku kejadian itu singkat.

Lemas ketika aku tahu jika, aku tak mampu berlama-lama memandang wajahnya. Tetapi apa boleh buat? Takdir. Dia juga yang membuatku mencintai fisika, tak hanya rupa yang menawan, kejeniusannya juga mampu menarik-narik rambutku.

Aku beri tahu satu hal, guru fisika yang lama pun pria dan juga masih muda. Aku bertaruh mereka pasti berteman, namun tidak satu tingkat. Meski guruku sempurna, dahulu aku tak pernah benar-benar mengerti apa itu fisika. Dan pada akhirnya datanglah malaikat dengan rupa berseri, memberiku bubuk kepintaran yang menjadikanku tak hidup tanpa fisika. Seperti separuh jiwaku pergi.

Kini derap langkah kaki makin terdengar nyaring di telingaku, dengan sigap aku berdiri di sebelah pintu masuk. Aku membawa printilan seperti, setangkai bunga mawar dan cokelat yang ujung-ujungnya akan kulahap sendiri.

Aku menunggu tubuh tinggi menjulang itu untuk tiba, memasang senyum dengan harapan setinggi gunung. Saat tepat langkah kaki itu berhenti di depan sepatuku, aku menatap sepatu itu dengan binar menyala-nyala bahagia.

Dari sepatunya aku menyorot terus hingga wajahnya yang tak pernah tersenyum, padaku. Ya, dia tak pernah tersenyum padaku. Mungkin karena dia tahu, aku mencintainya.

Kini dia terlihat menghela napas berat, menatapku dengan mata lelahnya. Aku tahu dia lelah, dia bekerja keras hari ini dan aku bangga. Tangannya melayang memijat pangkal hidungnya, yang mungkin sedang berdenyut. Meski penampilannya sedang berantakan, tetapi pesonanya tak lepas dariku. Kacamata yang bertengger membuatnya terlihat kian tegas, jujur dia guru yang disiplin dan banyak murid lelaki yang tak menyukainya.

"Lagi?" Suara baritonnya menyadarkanku.

Aku mengangguk dengan semangat, dan senyum yang tak pernah meleset dari bibirku. Tanganku terulur ke hadapannya, yang berisi setangkai bunga mawar dan cokelat yang kubawa tadi. Aku mencoba menyerahkan pemberianku, dengan sopan. Karena aku tahu, dia adalah seseorang yang paling berjasa dalam ilmu.

Sebuah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang