Perkenalan Kedua (3)

24 13 19
                                    

“Sebuah rasa yang pelik untuk jatuh tanpa tahu mana arahnya, adalah awal dari remuknya hati”
_Zivalia Cilia






Semenjak perbincangan tak terduga saat di kantin tadi, kini Sintia dan Cika mulai menakut-nakuti perihal guru baru itu. Sintia mengatakan jika guru baru itu sangat kaku, dingin, dan sepertinya tegas dalam hal mengajar. Lain hal dengan pak Bagas, yang cenderung lebih santai dalam mengajarkan materi.

Aku yang mendapatkan bayangan guru baru itu dari Sintia, mulai membuat imajinasi tentangnya. Seakan bersarang di kepalaku, aku menjadi sedikit tak tenang. Bagaimana jika benar, orang yang terkena tendangan kalengku adalah guru baru? Bisa-bisa nilaiku akan terancam di tangannya. Aku menggelengkan kepalaku, berusaha mengusir paksa hal negatif yang menghantui.

Kini aku dan kedua sahabatku, berjalan bersama menuju kelas. Karena kebetulan sekali beberapa detik setelah aku mengutarakan pengalaman sialku itu, bel penanda usai istirahat telah berbunyi. Maka dari itu dengan sangat terpaksa, kami menarik tubuh ini untuk mengucapkan selamat tinggal pada kantin yang menjadi surganya sekolah. Waktu istirahat terlalu singkat bagiku, namun ya sudahlah tak ada yang bisa dilakukan selain patuh jika masih dalam hal positif.

Saat kami tiba di lorong kelas XII yang mulai sunyi karena para murid telah masuk kelas, di sana aku melihat pak Bagas tengah bersandar di tembok yang tepat berada di sebelah pintu masuk kelas XII-3. Lebih lengkapnya, di depan kelas kami. Ya, XII-3 itu kelasku dan kedua sahabatku. Baiklah kembali lagi, aku menatap pria itu heran. Mengapa pak Bagas masih ada di sini? Bukankah dia seharusnya telah pergi ke sekolah baru tempat dia mengajar?.

Aku mencoba untuk tak terlalu memperhatikan pak Bagas, yang sedari tadi sibuk menatap gawai di genggamannya. Kami bertiga mencoba untuk lewat di hadapannya dengan sikap yang sopan. Saat aku melewatinya, dengan sigap pak Bagas menghentikan langkahku. Dia memegang tanganku, sebagai penanda untuk aku tak pergi dari hadapannya.

Akibat dari sentuhan mendadak ini membuat tubuhku terkejut, bahkan pak Bagas sendiri menyadarinya. Pak Bagas hanya menampilkan senyum manis yang selalu dia tebarkan setiap hari di sekolah. Satu sekolah mengatakan, pak Bagas adalah pemilik senyum terbaik namun aku menganggapnya biasa. Namanya saja senyum, pasti sama dengan senyum orang-orang. Tetapi kali ini, menatap senyum yang terukir di wajah pak Bagas secara detail seperti ini aku berpikir, eum tampan. Ah tidak-tidak pikiran liar dari mana ini, aku menjadi tak jinak aish. Akibat rasa terkejut tadi, jantungku pun berdegup dua kali lebih cepat dari biasanya. Huh apa-apaan ini.  

“Ziva? Maaf jika kamu terkejut ... Ziva?” Pak Bagas mengayunkan tanganku pelan, membuat aku kembali pada alam sadar.

“Eh ya, Pak ada apa?” Aku bertanya dengan gelagat yang gugup.

Cika dan Sintia yang masih berada di ambang pintu, ikut memberhentikan niat mereka untuk masuk kelas dan memilih berhenti bersamaku.

Saat kami bertiga menunggu hal apa yang dibutuhkan pak Bagas dariku sampai-sampai menunggu di depan kelas, dia hanya menampilkan senyum canggung seraya menatap Cika dan Sintia. Sintia yang mendapat senyuman sedekat ini dari guru favoritnya, merasa dia ingin berteriak keras saja.

“Kalian masuk kelas saja, ya. Saya ingin berbicara berdua dengan Ziva,” ujar pak Bagas, memerintahkan Cika dan Sintia untuk meninggalkan kami berdua.

Oh tidak, apa kesalahanku? Aku mulai menjadi takut saat ini. Tuhan kumohon, masalah guru baru itu saja belum beres dan sekarang dengan pak Bagas. Aku berceloteh sendiri di dalam hati, tanpa didengar dan diketahui siapa pun.

Sebuah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang