Hadiah (4)

19 10 16
                                    

“Teka-teki kehidupan ini, membuat hati menjadi sulit untuk percaya siapa pun, selain Tuhan”
_Zivalia Cilia






Hari yang melelahkan bagiku. Setelah sepanjang hari ini dihukum dan menjatuhkan hati, membuat diri mengeluarkan energi yang cukup banyak. Tepat pukul 16.30, aku kembali ke rumah. Sebenarnya bel pulang sekolah berbunyi pukul 15.00, hanya saja aku dan sahabatku menghabiskan waktu di kafe dekat sekolah kami. Setelah kembali dari kafe untuk menyegarkan pikiran, aku diantar oleh sahabatku. Tiba di pekarangan rumah, aku mengucapkan salam perpisahan sementara kepada mereka. Aku masuk ke dalam rumah, sembari menyeret tasku di lantai. Bukan apa-apa, hari ini terasa begitu melelahkan dan gerah. Bahkan dasi yang kerap melekat di leherku kini sudah tak hinggap lagi. Penampilanku sangat berantakan, namun biarlah aku sudah di rumahku sendiri.

Sebelum aku mencapai tangga yang menuju ke arah bilikku, aku menyempatkan diri untuk duduk di sofa ruang tamu. Aku melepaskan tasku dari genggaman tangan, aku duduk bersandar pada sofa. Aku merentangkan tanganku, membiarkan angin dari pendingin ruangan menyusup pada tubuhku.

Memejamkan mata, aku menumpahkan segala rasa lelahku yang sudah tak tertampung lagi. Saat sedang asyik menyegarkan diri, suara perempuan yang sedikit nyaring mengejutkanku.

“Ziva, Sudah pulang kamu.” Mama menghampiriku, ikut duduk di sebelahku.

“Belum, Ma. Ini arwah Ziva,” ucapku bergurau.

Mama yang mendengar itu, menatapku dengan tatapan tajamnya. Dengan lihai, mama menyumpal mulutku dengan kue lapis yang mama bawa ke hadapanku tadi. Aku hanya bisa cemberut seraya mengunyah camilan lezat ini, lezat sekali pikirku. Namun tunggu, ada yang aneh di sini. Mengapa mamaku ini sudah berada di rumah, ini belum waktunya mama dan papa pulang?.

“Eh by the way, Mama mengapa sudah berada di rumah?” Aku menatap mama sembari mencomot kue lapis itu kembali.

“Tidak ada, Papa menyuruh Mama untuk pulang lebih awal. Karena memang Mama sudah tak memiliki tugas lagi, hanya Papa yang masih di kantor,” ujar mama.

Aku hanya mengangguk mengerti dengan kegiatanku yang masih memakan kue.

Terjadi keheningan beberapa saat di antara kami, hingga mama mengucapkan kalimat yang membuatku kembali sebal.

“Kamu pergilah mandi, sepertinya hari ini kamu sangat bersahabat dengan matahari.” Mama menutup hidungnya.

Aku menghentakkan kakiku, mendengar perkataan mama yang secara tak langsung mengatakan aku ini bau. Tetapi apakah aku sangat bau? Sampai-sampai, mama terganggu dengan aromanya. Dengan iseng aku menghirup aroma tubuhku sendiri, hingga sampailah aku menghirup titik paling bau di tubuh manusia. Ketiak, sial ternyata aku benar-benar bau. Saat hidungku menghirup aroma tak mengenakkan itu, langsung saja dia menolak.

“Ternyata, aku memang bau.” Aku meringis bahkan bergidik ngeri. Membayangkan aroma tubuhku dihirup orang-orang.

Oh tidak saat di mobil Sintia tadi, apakah mereka tak merasakan bau? Aku jadi malu dan tak enak seperti ini. Hei tunggu sebentar, jangan kalian pikir aku tak menggunakan deodoran ya! Aku selalu menggunakannya, hanya saja memang aku terlalu banyak bergerak hari ini.

“Ya memang, sudah sana mandi.” Perintah mamaku yang kini asyik menonton acara tv.

“Siap Mamaku yang cantik.” Aku mencium pipi mamaku dan langsung lari dari hadapannya.

Sebuah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang