Bertemu Rival (5)

3 1 0
                                    

“Bahkan raungan matamu yang menakutkan sekalipun, tak mampu meracuniku”
_Zivalia Cilia







Hari ini, aku melangkah menelusuri sekolah dengan perasaan senang. Bak taman bunga yang sedang bermekaran, kini tumbuh di dalam hatiku. Mengingat hadiah pemberian pak Bagas kemarin, aku masih saja tak mampu menghilangkan euforianya. Semua masih terasa menyenangkan, sangat.

Aku tak habis pikir, jika pak Bagas bisa semanis itu dan romantis? Ah ayolah aku seperti sedang jatuh cinta saja. Tidak-tidak aku pun tak paham perasaan aneh apa yang kupunya ini, masih belum mampu kubaca dan kutelaah.

Keadaan sekolah pagi ini belum terlalu ramai, namun sudah ada beberapa murid yang telah datang. Aku berjalan dengan riang, sesekali aku bersenandung kecil mengikuti irama hatiku. Saat ini, aku menghias rambutku menggunakan jepit rambut pemberian pak Bagas kemarin. Aku menggunakan yang ukuran kecil, aku meletakkannya di bagian rambut dekat telingaku.

Aku terlihat cantik menurutku saat ini, sungguh percaya diri. Aku berlama-lama berdiri di depan cermin, hanya untuk melihat bagaimana jepit rambut itu berada di rambutku. Benar-benar indah, hadiah kecil yang luar biasa.

Ketika aku sampai di ambang pintu kelasku, aku melihat kedua sahabatku Sintia dan Cika yang tengah duduk di mejaku dan Cika. Sepertinya mereka sedang menungguku. Aku pun mulai melangkahkan kaki mendekat pada mereka, mengembangkan senyumku yang manis. Baiklah hentikan untuk kepercayaan diri ini. Saat aku tepat di hadapan mereka, dengan sigap Sintia mendudukkan diriku di kursi dan mereka berdiri di hadapanku. Mereka menatapku dengan tatapan mengintimidasi, menuntutku untuk menjelaskan apa saja yang terjadi kemarin.

Benar saja, aku belum sedikit pun menjelaskan segalanya pada mereka. Padahal kami sempat menghabiskan waktu bersama, tetapi aku enggan untuk menjelaskannya. Aku sengaja melakukan hal itu agar mereka menjadi penasaran. Dan lihat sekarang, mereka penasaran setengah mati padaku. Aku tertawa kecil menatap Sintia dan Cika, yang sepertinya ingin mengulitiku.

“Ayolah Ziva, jelaskan pada kami sekarang. Perihal kemarin,” ucap Sintia frustrasi padaku.

Hahaha, baiklah-baiklah. Sepertinya kalian sangat penasaran, ya!” Aku tertawa keras.

YA!” Cika dan Sintia berucap bersamaan dengan nada ngegas.

Aku terkejut mendengar suara mereka, bahkan aku sangat terkejut melihat Cika yang sudah mulai tertulari virus Sintia. Aku menjauhkan wajahku dari mereka, aku sampai memegang dada akibat rasa keterkejutanku. Just information, aku ini orangnya mudah untuk terkejut.

Sebelum aku menceritakan segalanya pada mereka, aku menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Aku melakukan ini semua, untuk menguatkan mentalku sendiri ketika menghadapi dua perempuan heboh yang berada di kanan dan kiriku.

“Begini, aku jelaskan satu-satu. Perihal Pak Abrian terlebih dahulu, oke?” Aku meminta persetujuan mereka.

Kulihat mereka menganggukkan kepalanya, sebagai tanda penerimaan dari mereka.

“Seperti yang telah aku ceritakan di kantin kemarin, aku menendang kaleng dan itu terkena kepala seseorang. Yang ternyata itu guru baru kita, di situ aku benar-benar malu dan takut.” Aku mengepal tangan kuat-kuat dengan raut wajah gemas.

“Ah begitu, yang penting kamu sudah minta maaf kan waktu itu? Tak perlu khawatir,” ucap Cika.

Aish masalahnya, sekarang aku telah jatuh hati padanya.” Aku menelungkupkan wajahku di sela-sela tangan yang berada di atas meja.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 5 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sebuah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang