Dia, Guru Baru? (2)

22 12 21
                                    

“Apakah sangat sulit mendapatkan cinta yang setara dari ciptaanmu, Tuhan?”
_Zivalia Cilia



Kini tepat waktunya untuk jam istirahat pertama, dan sekarang aku telah mengambil tempat terlebih dahulu sebelum kantin ini akan terisi oleh lautan manusia yang lapar. Yap! Aku telah menyelesaikan hukumanku sekitar lima menit yang lalu. Pun aku telah memperlihatkan kantung sampah yang kugunakan tadi kepada bu Ida, agar dia melihat hasil dari kerja kerasku. Bu Ida salut padaku yang begitu patuh pada hukumannya, tak seperti anak murid lain yang mungkin akan memperdaya bu Ida agar terlepas dari jerat hukuman.

Aku tak buruk begitu, kembali aku ingatkan aku sangat patuh dan bertanggung jawab. Jadi begitulah, melihat aku yang amat kelelahan terlebih cuaca yang terik. Bu Ida memutuskan agar aku istirahat saja, tak perlu masuk kelas kembali. Karena memang kelas akan berakhir lima menit lagi, maka dari itu bu Ida menyuruhku untuk makan dan minum di kantin. Dan itulah mengapa kini ragaku bersemayam di kantin tua ini, dengan memakan gorengan-gorengan yang sangat menggiurkan. Tak lupa pula, es teh dengan es batu ekstra berada di sebelah piring gorenganku. Ah aku serasa di surga, es teh menjadi pendingin serta gorengan yang lezat membuat suasana hati berjingkrak senang.

Sekitar lima menit setelah aku asyik sendiri, bel penanda istirahat berbunyi. Aku menatap arloji yang melingkar di tangan kiriku, seraya memakan bakwan gurih yang masih panas. Aku menghitung tiap detik yang dihasilkan oleh jarum panjang.

“1 ... 2 ... 3,” ucapku lirih.

Dan tentu saja, derap langkah yang dihasilkan lebih dari satu orang mulai melahap kantin ini. Dari seluruh penjuru kelas sepuluh hingga kelas dua belas, mulai memijakkan kaki di kantin. Tergesa-gesa mencapai setiap kedai makanan dan minuman, agar tak terdahului yang lain. Perut yang lapar dan lambung yang meronta-ronta ingin diisi, membuat para murid-murid sekolahku bertingkah agresif.

Seperti zombi, pikirku. Suara teriakan dari sana sini, mengisi penuh di pendengaranku. Lain hal denganku yang santai saja, duduk dengan tenang. Tetapi ini hanya karena aku telah menguasai kantin lebih dahulu, jika tidak aku pun akan melakukan hal yang sama seperti mereka hahaha. Begitulah, dunia persekolahan.

Saat aku mencapai gigitan terakhir dari bakwan yang berada di tanganku tadi, sahabat-sahabatku mulai mendekat padaku. Tak sulit bagi mereka, menemukan Ziva yang cantik ini di antara lautan manusia lapar. Karena kami selalu memakai meja yang aku pakai sekarang, sehingga salah satu dari kami tidak sulit jika ingin mencari salah satu dari kami di kantin.

Saat aku menyeruput es teh melalui sedotan, di situlah Sintia merangkulku dengan kasar. Membuat es teh yang telah berada di tenggorokan, kini harus keluar kembali melalui mulut. Aku tersedak, dadaku hingga tenggorakan terasa panas. Aku menepuk pelan dadaku, mencoba menghilangkan panas akibat air yang tersangkut. Sang empu yang membuat semua ini terjadi, hanya menampilkan tawa khasnya yang berhasil membuatku geli.

Hahaha, Sintia kamu benar-benar kasar.” Cika tergelak di antara kami dengan suaranya yang menggelegar.

Sintia yang disebut namanya pun ikut tertawa, menyambut tawa renyah dari Cika. Aku yang merasa sedang ditertawakan di saat aku sedang sial, hanya bisa cemberut. Aku mengerucutkan bibirku, menatap mereka kesal. Tadi hidupku tentram bak surga, kini datanglah dua perempuan menyebalkan alhasil segalanya buyar.

“Sudah-sudah, maafkan aku ya manis.” Sintia mencolek pipiku, dengan senyuman mirip abang-abang kompleks perumahan yang selalu menggoda anak sekolah sepertiku ini.

Sebuah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang