Perkenalan Pertama (1)

27 14 25
                                    

"Aku merasa segala hal yang terjadi, tak harus menjadi hal yang kita sesal untuk hadir. Meski buruk di mata kita, belum tentu buruk di penglihatan orang lain"
_Zivalia Cilia

Hai, aku Zivalia Cilia. Anak tunggal, dari pasangan Indra Herlan dan Lauren Cilia. Aku tak merasa bangga, mendapatkan posisi anak tunggal ini. Aku memperoleh segala fasilitas yang ada, semua yang aku ingin dan perlukan selalu diberikan oleh kedua orang tuaku. Hanya, rasa sepi terus saja membayangi diriku ini.

Orang tuaku sibuk pada pekerjaannya, dan hanya akan di rumah saat-saat akhir pekan. Dari pagi hingga malam menjelang, orang tuaku berkutat di perusahaan papa. Papa memiliki perusahan yang sangat besar, dan sudah tak asing lagi di dunia bisnis mana pun. Mama pula bekerja sebagai sekretaris di perusahaan papa sendiri, itulah mengapa mereka menikah. Terbiasa bertemu dan selalu bersama, membuat benih cinta itu tumbuh di antara keduanya. Hingga pada akhirnya mereka memutuskan untuk menikah, lalu lahirlah anak perempuan cantik dan manis ini ke dunia. Zivalia Cilia, atau biasa orang-orang memanggilku Ziva.

Mengapa aku menyebutkan kata kesepian? Sebentar, sebelum itu aku ingin menjelaskan perihal orang tuaku. Aku sama sekali tak kekurangan sedikit pun kasih sayang mereka, yang aku rasakan adalah kurangnya waktu. Aku merasa tak memiliki waktu cukup, untuk menghabiskan saat-saat bersama mereka. Aku kesepian, namun bukan berarti aku kekurangan kasih sayang. Secuil pun, tak ada kurang.

Aku menikmati segala kehidupan ini, aku tak ingin mengeluh. Karena semua belum tentu bisa mencapai posisiku, aku harus bersyukur atas nikmat Tuhan. Kembali membahas orang tuaku, mereka hanya akan ada di rumah ketika tepat makan malam. Saat itulah mereka akan menemaniku, dan bertanya hal baik dan buruk apa yang aku terima selama sehari. Inilah yang membuatku kagum pada mereka, meski waktu yang sempit mereka tak melepaskan perhatiannya dariku. Mereka tetap menjalankan peran baik, sebagai orang tua.

Tentu, ditinggal mereka tak membuat rumah yang menjadi tempat kami hidup ini benar-benar sepi. Rumah kami yang diucapkan megah, diisi oleh orang-orang baik yang dipekerjakan papa dan mamaku. Setidaknya para pekerja yang terdiri dari 2 asisten rumah tangga, 1 tukang kebun, dan 1 satpam penjaga rumah membuatku merasa rumah ini tetap hidup.

Lupakan perihal latar belakangku, mari kita kembali ke masa sekarang. Saat ini aku tengah menelungkupkan wajahku, di antara lipatan tangan di atas meja. Aku tak benar-benar tidur, aku hanya memejamkan mata karena terlalu bosan dengan pelajaran yang kini sedang berlangsung.

Aku bukan siswi paling bodoh di kelas ini, aku selalu mendapat lima besar berturut-turut dari kelas X. hingga kini, aku telah memasuki semester awal kelas XII. Segalanya akan berakhir, banyak yang bilang waktu di penghujung SMA akan cepat berlalu. Aku tak begitu memedulikannya, karena memang kehidupan di sekolah ini tidak ada kesan-kesannya sama sekali. Semua berjalan lurus dan monoton. Kehidupan di sekolahku ini, berwarna hanya karena kedua sahabatku saja, selebihnya tak ada.

Ketika aku merasa akan mencapai bunga tidur yang indah, tiba-tiba saja aku merasa pergerakan dari orang di sebelahku. Aku tahu pasti orang itu adalah Cika, salah satu sahabatku. Aku menggeram sebal, sebab bunga tidurku menjadi buyar.

"Hentikan, Cik. Aku ingin tidur sebentar," aku berucap lirih, agar tak mengganggu pelajaran yang sedang berlangsung.

Setelah aku mengatakan kalimat itu, bukan suara Cika yang kudengar. Tetapi suara berdeham yang aku yakin, bukan berasal dari Cika. Aku yang penasaran mengangkat kepalaku melihat siapa orang itu. Ya Tuhan! Sepertinya aku akan mendapatkan masalah sekarang. Aku terperanjat, sampai-sampai kursi yang menjadi tempatku duduk sedikit mundur. Aku tertangkap basah kembali oleh bu Ida, guru matematika kelas XII yang menyandang status sebagai guru ter-killer. Terkadang aku berpikir itu benar, namun di satu sisi pula aku menepisnya. Bu Ida guru baik, dia hanya ingin para muridnya disiplin. Terlebih dia mengajarkan matematika, yang di mana murid-murid setidaknya harus fokus menatap segala gerak-geriknya ketika mengajar.

Sebuah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang