[3] 🌥️

48 18 3
                                    

"Janji?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Janji," jawabnya tegas. Meski aku tahu, di dalam hatinya, dia juga mengerti bahwa dunia kami akan berubah selamanya.

༄.°༄.°༄.

Sekarang, hentikan tangisanmu itu, Cengeng," kata Azz sambil menyentil dahiku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sekarang, hentikan tangisanmu itu, Cengeng," kata Azz sambil menyentil dahiku.

Aku spontan mengusap dahi yang terasa perih, sambil memasang wajah cemberut ke arahnya.

"Menyebalkan" Gumam ku, pelan.

Azz, terkekeh lalu kembali menaikkan standar sepedanya, mulai mengayuh sepedanya lagi, kembali membonceng ku dengan sepeda biru nya.

"Azz, kamu tadi menghentikan sepeda karena capek, ya?" tanyaku sambil menyindir, mencoba menyembunyikan senyum kecil di sudut bibirku.

Dia menoleh sekilas, lalu membalas dengan nada penuh kesal, "Enak saja. Aku berhenti karena sebal dengan pertanyaan-pertanyaan mu, tahu!"

Aku mendengus, tidak menyerah begitu saja. "Eh! Aku kan cuma bertanya, kamu saja yang menjawabnya hanya dengan satu kata. Akui saja, pasti kamu capek membonceng ku, kan?" sindir ku lagi, semakin mempertegas candaan ku.

Azz menggubris lagi, dia malah mempercepat kayuhannya.

"Hmph, lemah." Gumamku.

Azz mendengus, tersinggung. "Ya...ya... aku lemah," sahutnya akhirnya, dengan nada kesal yang tak bisa dia sembunyikan lagi.

"Siapa yang tidak lelah setelah berenang menyelamatkan seseorang, lalu harus memboncengnya pulang?"

Aku terdiam, tidak membalas. Bagaimanapun, Azz benar. Perkataannya tadi tak sepenuhnya hanya luapan kesal, tapi juga mengandung kebenaran. Di balik semua ejekannya, aku bisa merasakan ada kepedulian yang terselip. Kekhawatiran yang mungkin suatu saat nanti akan tumbuh menjadi perasaan yang lebih rumit.

"Ne ne...., Miku, aku minta maaf soal topi mu yang hanyut tadi," katanya tiba-tiba, nadanya terdengar penuh penyesalan. Aku menoleh, menatapnya.

"Hmph, biarkan saja. Lagi pula, itu hanya topi jerami usang," jawab ku datar, mencoba menutupi rasa sedih yang terselip hanya karena topi itu.

Azz tak menyerah. "Dan topi jerami yang usang itu selalu kau kenakan ke mana-mana, kan?"

Aku mendengus pelan. "tapi kau tidak perlu meng-"

"Berisik!" potongnya tajam. "Aku akan membelikan mu topi yang lebih bagus nanti."

"Nanti?" Aku tertegun, bingung.

"Ya, di pasar malam nanti, setelah aku selesai membantu ibuku dengan urusan bola-bola nasi itu (onigiri 🍙)," jawabnya dengan nada santai.

Aku tersenyum kecil, rasa syukur dan terima kasih tersimpan di hati ku, meski bibir ku hanya mampu berkata pelan.

"Baiklah... terima kasih, Azz." Aku memandang setengah wajahnya yang terkena sinar matahari sore, membuat wajahnya terlihat lebih hangat dari biasanya.

"Tidak perlu. Di antara teman, tidak ada kata maaf atau terima kasih," katanya sambil kembali mengayuh sepedanya, kali ini lebih cepat.

Beberapa menit kemudian, kami sampai di kawasan pemukiman. Azz segera memarkirkan sepedanya di depan rumahku. Tepat pada saat itu, ibu membuka pintu, dan pandangannya langsung tertuju pada kami yang basah kuyup. Wajahnya langsung berubah muram.

"Astaga... kalian bermain di sungai itu lagi! Berapa kali kubilang sungai itu berbahaya dan terjal! Sepertinya kalian tidak akan kapok sampai salah satu dari kalian tenggelam," omel ibu, sambil mengangkat alisnya penuh peringatan.

Aku dan Azz saling menatap. Memang, aku baru saja tenggelam tadi, dan aku hampir saja tertawa mendengar betapa tepatnya insting ibuku.

"Wah... insting ibumu benar-benar luar biasa, ya," bisik Azz pelan.

Aku membalas bisikan itu, mencoba menahan tawa, "Untung lah ibu tidak tahu kalau aku benar-benar tenggelam. Kalau dia tahu, aku pasti akan diomeli selama seminggu."

Kami pun terkikik pelan, sementara ibu ku menatap kami bingung, heran melihat kami yang malah tertawa bersama.

"Kalian akan pergi ke pasar malam nanti, kan?" tanya ibu, masih dengan nada mengawasi sambil terus menyapu teras depan.

"Tentu, Bibi. Kami akan pergi setelah makan malam," jawab Azz sambil tersenyum sopan.

Aku yang duduk di tangga dekat pintu ikut menimpali, "ya, Azz sudah janji mau mengantar ku ke pasar malam dan membelikan ku topi baru."

"Topi baru? Ada apa dengan topi lama mu? Kau menghilangkannya?" Nada suara ibu berubah lebih tinggi, jelas merasa ada sesuatu yang tak beres.

"Eh... bu-bukan, Bu... topiku ha-hanya hany-" Aku mencoba menjelaskan dengan gugup, tetapi Azz cepat-cepat memotong.

"Aku tidak sengaja melemparnya saat kami bermain di sungai bu. Itulah kenapa topi Miku jadi hanyut sekarang."

"Astagaaa... anak-anak ini!" Ibu ku menepuk dahinya, sebal, wajahnya memerah, dan seperti biasa, dia sudah siap mengaktifkan mode omelannya.

"Kalian selalu membuat masalah! Entah itu soal topi jerami, terlambat ke sekolah, atau hampir membakar dapur!"

Aku dan Azz hanya bisa saling pandang dan terkekeh sementara ibu ku terus mengomel.

Hari ini mungkin memang penuh masalah, tapi entah kenapa, di tengah semua itu, hati ku terasa hangat, penuh dengan sukaria karena semua itu kulalui bersamanya, Azz sahabat ku.

Hari ini mungkin memang penuh masalah, tapi entah kenapa, di tengah semua itu, hati ku terasa hangat, penuh dengan sukaria karena semua itu kulalui bersamanya, Azz sahabat ku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Thanks buat yang vote 🤩🌟

Sudut pandang ku ubah ke orang pertama (aku)

Lanjooot ᯓ ✈︎


SKY : A Tale of PatienceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang