05 - Sanguine Whispers

55 33 12
                                    

   BLilith melangkah perlahan menyusuri koridor yang dikelilingi dinding berornamen dan lampu-lampu gantung yang memancarkan cahaya lembut. Ia membuka sebuah pintu kayu berat di depannya. Menampilkan sosok wanita paruh baya yang membelakanginya, mengenakan gaun hitam dengan apron putih—dia adalah kepala pelayan.

    Dengan kacamata bulat yang tergantung di hidungnya, berkata dengan nada datar namun penuh tekanan, "Apa kau tidak berpikir bahwa tindakanmu terlalu berlebihan, Lilith?"

    Seketika Lilith menundukkan kepala dengan perasaan merendah, "Dia membuatku kesal," ujarnya.

    "Maaf, tanpa sadar aku hampir membuat kekacauan. Namun, ada hal lain yang perlu saya ketahui hingga Anda memanggil saya?"

    Kepala pelayan itu berbalik, membawa buku tebal yang dipenuhi catatan penting di tangannya. Dengan tatapan yang tak beranjak dari halaman-halaman itu, ia menjawab, "Permaisuri yang agung memanggilmu di ruangannya."

    Lilith mengangguk, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar. "Baik. Saya akan segera menemui beliau."

    Namun, sebelum Lilith berbalik, wanita itu mengeluarkan peringatan tegas kepadanya, "Jangan sampai hal yang sama terjadi lagi. Meskipun dia seorang manusia, dia sudah memiliki cap atas kepemilikan yang mulia putera mahkota. Ingat, kesalahan sekecil apa pun bisa berakibat fatal."

    Kata-kata itu membekas di benak Lilith, menambah beban di pundaknya. "Saya mengerti, akan saya jaga sikap saya," jawabnya, berusaha menampilkan ketegasan meski suara yang keluar masih bergetar.

    Lilith hanya mengiyakan dengan senyum kecut. Mendengar 'cap kepemilikan putera mahkota' saja sudah membuatnya jengkel.

    Disisi lain sang permaisuri di dalam ruangan pribadinya tampak terduduk pusing. Jemarinya mengetuk meja secara berurutan di atas meja. Sesekali, ia menyesap teh chamomile kesukaannya, berharap aroma dan rasa hangatnya mampu menenangkan pikirannya.

    Kejadian beberapa hari lalu tepat di hari ritual, tak kunjung lenyap dari benak permaisuri. Hingga saat ini, pikirannya masih dipenuhi pertanyaan yang tak kunjung terjawab.

    Mengapa portal sihir itu mengeluarkan seorang manusia?

    Harapannya semula adalah munculnya ramuan yang setara dengan darah kuno, namun yang datang justru seorang manusia biasa. Namun yang paling mengusik pikirannya, mengapa putranya, Lancelot dengan begitu gegabah menandai manusia itu sebagai miliknya, hanya karena darahnya yang terkesan istimewa?

    Ucapan Lancelot yang kasar tentang manusia itu di hadapan para bangsawan telah menimbulkan masalah besar. Para bangsawan mulai mempertanyakan keputusannya, dan tak sedikit yang datang menghadap untuk menuangkan keluh-kesah.

    Lancelot mungkin satu-satunya pewaris darah vampir kuno, tetapi posisinya sebagai putra mahkota tidak memberi hak untuk menginjak-injak martabat bangsa vampir begitu saja.

    Pintu ruangan terbuka perlahan. Seorang dayang pribadi masuk dengan penuh hormat, menundukkan kepalanya sebelum berbicara. "Mohon maaf mengganggu, yang mulia. Pelayan Lilith telah datang untuk menghadap."

     Permaisuri yang masih terduduk di kursi berhias emas, hanya mengangguk kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari cangkir teh chamomile yang mulai mendingin di tangannya.

    "Masuklah," jawabnya, suaranya terdengar datar, tetapi sarat dengan beban pikiran.

     Lilith melangkah masuk dengan anggun, gaunnya berdesir mengikuti langkahnya yang penuh hati-hati. Dengan sikap hormat, ia membungkuk di depan permaisuri.

    "Yang mulia," ucapnya lembut, "saya di sini. Apakah ada hal yang bisa saya bantu?"

     Permaisuri tidak segera menanggapi. Ia menarik napas dalam, lalu melepaskannya dengan desahan pelan, berusaha menahan amarah yang bergolak di dalam dirinya. Jemarinya mengetuk-ngetuk pegangan cangkir dengan irama tak teratur .

Pure Flower BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang