06 - Turpitude

43 33 15
                                    

    Lilith melangkah masuk ke ruang masak, tempat aroma bumbu rempah-rempah memenuhi udara, menciptakan suasana yang hangat dan sedikit menyesakkan. Di sudut-sudut dapur, para juru masak tampak sibuk dengan tugas mereka masing-masing-beberapa memotong daging beku di atas talenan, sementara yang lain meracik bumbu dan menyiapkan hidangan.

    Tiga dari mereka, yang tampak mengenakan pakaian lusuh dengan noda masak di sana-sini, tengah berbicara dengan suara lirih. Bibir mereka terus bergerak seolah takut didengar oleh orang luar.

    "Sekarang kita harus menyiapkan makanan untuk manusia itu," lirih salah satu juru masak yang sedang sibuk dengan potongan daging beku di tangannya.

    Gadis berambut pendek yang berdiri di sebelahnya, sambil menyeka keringat di dahinya, menimpali dengan nada sinis, "Ini pertama kalinya aku menghidangkan makanan untuk makhluk yang seharusnya menjadi mangsa kita."

    Wanita paruh baya yang sedang menata bahan-bahan makanan di atas meja ikut bergabung dalam percakapan, menurunkan suaranya seolah menyampaikan rahasia besar. Sambil menutupi setengah wajahnya dengan tangan, dia berkata dengan spontan.

    "Kabarnya, Yang Mulia Putera Mahkota bahkan memberikan perlakuan khusus untuk manusia itu! Aku tidak tahu tipu muslihat apa yang dipakai oleh manusia itu, tapi bagaimana bisa Yang Mulia, yang terkenal keras dan tak berbelas kasihan, sampai rela menurunkan tangan untuknya?"

    Mereka saling berpandangan dengan tatapan penuh rasa penasaran, sementara Lilith yang diam-diam menguping dari kejauhan hanya tersenyum samar, "kalau kalian memang sedang memasakkan makanan untuknya," ucapnya dingin.

    "pastikan kalian berikan yang paling 'layak' dan 'berkualitas'."

     Kata 'layak' yang diucapkannya penuh sindiran, seolah menandakan bahwa 'layak' baginya bukanlah apa yang benar-benar diharapkan. Para juru masak yang mendengarnya saling berpandangan, lalu mengangguk paham.

    "Baik, Nona. Kami akan berusaha semaksimal mungkin," sahut wanita paruh baya itu sambil menyunggingkan senyum penuh kepatuhan yang sedikit dipaksakan.

    Lilith kemudian duduk di salah satu kursi dekat dapur, menghembuskan napas panjang, seakan kelelahan oleh kejadian yang baru saja terjadi. Konflik antara Lancelot dan Permaisuri akibat keputusannya terhadap manusia itu tak hanya menguras tenaganya, tetapi juga memberinya kesempatan untuk memancing amarah sang Permaisuri.

     Lilith tahu, provokasi yang ia tebarkan pelan-pelan mulai bekerja, namun ia belum bisa memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya.

    "Nona tampaknya sedang banyak pikiran," ujar juru masak berambut pendek yang tadi, dengan suara hati-hati.

     Dia mendekat dengan secangkir teh di tangan, "saya bawakan minuman untuk menenangkan pikiran."

    Lilith menerima cangkir itu dengan senyum tipis dan mengangguk. "Aku mengalami banyak hal berat karena manusia itu," katanya sambil menyesap teh, matanya menyipit seolah mengenang sesuatu yang menjengkelkan.

    Ucapan Lilith membuat para juru masak yang gemar bergosip segera tertarik. Mereka saling melempar pandangan, kemudian secara kompak bergerak lebih dekat ke arah Lilith, rasa penasaran mereka terpancar jelas dari wajah.

    "Memangnya, apa yang telah manusia itu perbuat, Nona?" tanya juru masak paruh baya dengan mata berbinar antusias, penuh harap akan cerita menarik.

    Dengan malas, Lilith menjawab, "Ya, tugasku sekarang bukan lagi melayani Pangeran Lancelot, tapi manusia sialan itu."

    Para juru masak yang mendengar itu tampak terkejut, lalu juru masak yang tengah sibuk dengan daging beku menimpali dengan nada tak percaya, "Apa? Bisa-bisanya manusia hina itu membuat Nona Lilith yang berdarah bangsawan harus melayaninya?"

Pure Flower BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang