Biasanya akan ada saat di mana kau merasa bahaya datang mengancanmu, memberikan ketakutan yang kau sendiri tidak dapat mengetahuinya sampai bahaya itu sendiri melingkupi diri padamu. Sesuatu semacam pertanda juga bisa menjadi awal kau mengetahuinya. Tapi kadang manusia memang selalu abai pada pertanda, selalu melangkah ke jalan salah dan menyesalinya.
Bukankah itu yang membuat manusia lebih kerap menyesali keputusannya?
Tapi aku rasa, aku memiliki sesuatu yang tidak dimiliki manusia pada umumnya. Sikap hati-hati dan kadang merasa ancaman selalu di sekitarku membuat aku kerap melangkah dengan ragu dalam setiap tarian nafas. Aku tahu kalau bahaya itu tidak terdeteksi, tapi saat ada pertanda, aku biasanya akan melangkah mundur.
Seindah apa pun jalan yang akan kulewati, kalau ragu sudah memeluk langkahku, maka saat itulah aku merasa tidak lagi ingin menikmati keindahan itu.
Seperti yang sekarang aku rasakan. Aku berdiri tegak di depan sebuah bar mewah yang tidak akan mempertahankan uang di sakumu cukup lama. Satu gelas minuman akan menghabiskan banyak kocek dari kantongmu. Dan aku harusnya tidak berada di sini.
Bukan karena aku miskin. Bukan karena aku tidak memiliki keberanian untuk melangkah ke tempat yang tidak pernah kulangkahi. Melainkan karena apa yang aku rasakan, firasat yang datang mencegahku melanjutkan langkah. Firasat itu meminta aku memutar tubuh dan pergi.
Aku melakukannya, karena seperti yang aku katakan di awal. Saat keraguan datang memelukku, maka saat itulah aku memiliki tekad untuk tidak mengambil resiko.
Jika sikap ini disebut sebagai pengecut. Maka tidak masalah. Selama aku selama karena aku suka hidup. Dari pada terbaring di peti mati dingin seperti yang terjadi pada kedua orangtuaku yang mati dalam kecelakaan mengerikan. Aku lebih suka dengan hidup yang meski memang menyedihkan.
Saat langkah sudah kuputar, aku malah berhenti. Seseorang berdiri di depanku, lebih seperti menghadangku. Mungkin karena dia tahu kalau aku hendak melarikan diri. Apa sangat tampak di wajahku?
"Kau akan pergi?" tanyanya. Perempuan itu adalah sahabatku. Aku bisa menyebutnya sahabat karena kami sudah menjalin hubungan delapan tahun lamanya dan tidak pernah sekali pun dalam hidupnya mengkhianatiku.
Setidaknya dia satu-satunya yang bertahan di sisiku tanpa memberikan kecurangan dalam hidup kecil ini. Itu membuat aku bisa menyebutnya sahabat.
Aku hanya anak yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan setelah orangtuanya mati mengenaskan. Sampai usiaku delapan belas tahun, aku tidak memiliki siapa pun untuk mengadopsiku. Jadi saat aku sudah cukup umur, panti asuhan memberikan izin bagiku tinggal sendiri. Tanpa gangguan.
Aku yang tidak terbiasa hidup dengan banyak orang tentu saja tidak menolak. Aku menyukai ide hidup sendiri dan mencari uang sendiri.
Tapi aku hidup di negara yang memang menjunjung tinggi sebuah bantuan. Pemerintah tidak melepaskan aku begitu saja. Ada uang bantuan yang dikirim setiap bulan ke rekening pribadiku. Jumlahnya cukup banyak sampai rasanya mustahil aku mendapatkannya.
Aku kerap ingin mempertanyakan pada mereka yang juga dilepaskan oleh panti asuhan saat usia mereka cukup. Tapi sejauh yang aku tahu adalah tidak ada yang sepertiku. Mereka selalu selalu diadopsi tepat waktu. Jadi tidak ada yang bisa kutanya. Aku sudah bertanya pada pihak panti asuhan tentunya, tapi mereka mengatakan kalau itu normal. Tidak ada masalah. Bahkan mereka coba membuat aku bertemu dengan pihak ketiga yang bertanggung jawab.
Hanya saja aku menolaknya saat itu. Aku tidak mau dipikir tidak memiliki rasa terima karena karena meragukan mereka.
Dengan uang yang kerap masuk tiap bulan, aku dikelilingi banyak orang hanya sekedar untuk uangku. Dengan otak yang pintar, mereka yang kaya mendekatiku demi mendapatkan nilai bagus.
Sampai aku berhenti percaya pada tulusnya perasaan. Bahwa mereka semua mendekatiku, pasti memiliki kemauannya sendiri. Dan aku tidak lagi menahan mereka pergi, juga tidak menutup pintu bagi mereka datang.
Anehnya, kadang siapa pun yang sudah kuketahui menyakitiku akan hilang dengan begitu saja. Seolah ada yang melindungiku dari balik bayangan. Tapi kurasa itu hanya perasaanku saja. Mana ada yang mau melindungi perempuan tidak berguna sepertiku. Itu hanya khayalan karena menginginkan seseorang berdiri di sisiku.
Pengkhianatan menjadi tidak mengejutkan lagi. Tapi saat perempuan yang tadi bertanya padaku itu mulai mengeluarkan cakarnya, aku cukup terkejut.
Namanya Anne. Dia adalah seorang sekretaris di sebuah perusahaan besar. Dia sukses dan terbilang cukup memiliki uang. Dia harusnya tidak kekurangan. Lantas kenapa dia harus membawaku ke sini jika yang dia inginkan bukan uangku?
Aku memiliki firasat buruk. Tapi firasat itu tidak pernah tentang wanita itu. Ada sesuatu yang lain. Ada bahaya lain yang seperti mengintainya, meminta dia tidak datang dan memintanya untuk tidak melanjutikan apa pun yang sedang dia niatkan. Ada bahaya di dalam sana yang harusnya tidak membuat dia menampilkan diri.
"Ayo, semua orang sudah menunggu," Anne dengan senyuman tanpa dosa meraih lenganku dan menarik aku pergi dengannya.
Aku coba mempertahankan kakiku sendiri, berusaha melindungi diri dari bahaya yang menunggu. "Anne, seperti—"
"Kaiya, kita sudah sampai di sini. Kau sudah berjanji akan menemaniku. Aku tidak bisa masuk sendiri."
"Anne, ada sesuatu yang datang ...."
"Jangan berbohong, aku sudah mengecek semua jadwalmu dan kau bahkan menyelesaikan pekerjaanmu dengan cepat. Jadi kau harus masuk denganku. Ayolah, ya?"
Jika tidak ada orang yang melihat kami, Anne pasti sudah menyeret aku masuk dengan paksa. Dia sangat keras kepala membawa aku ke dalam. Entah apa yang menunggu di dalam sana.
Tidak ada pilihan lain, aku melangkah akhirnya bersamanya. Berusaha menekan segala kekhawatiran dan ketakutanku. Membawa kakiku dengan lemah masuk ke bar di mana sepanjang hidupku, aku tidak pernah sekali pun menginjak tempat seperti ini.
Anne saja tidak mengatakan kalau kami akan ke bar mewah ini. Aku pikir hanya kafe biasa. Dan bahkan Anne tidak menjelaskan padaku kenapa dia tidak mengatakannya sejak awal kalau kami akan ke sini. Seolah segalanya biasa baginya. Itu membuat aku mempertanyakan lagi pertemanan kami bertahun-tahun lamanya. Dia mengenalku sejak aku masih muda, dan usia kami yang jauh berbeda membuat pergaulan kami mungkin memang agak berbeda.
Tapi selama ini dia selalu menghormati apa yang menjadi pilihanku. Selama itu baik untukku, dia selalu menjadi yang pertama mendukungku. Lantas apa yang berubah sekarang? Aku memikirkannya dan aku tidak menemukan jawabannya sama sekali.
Aku tidak pandai membaca sikap seseorang.
Kami masuk ke dalam bar. Suara musik kencang dengan banyaknya manusia sudah membuat aku sakit kepala. Tidak lagi bahaya yang belum datang yang membuat aku tidak nyaman. Melainkan ketidaknyamanan pada tempat seperti ini.
Apalagi Anne membawaku menyibak lautan manusia saat kami sama sekali tidak memiliki jalan lain selain bersentuhan dengan satu tubuh ke tubuh lain. Aku melindungi diri sendiri, tidak pernah pernah suka lawan jenis menyentuh kulitku. Tapi tidak mudah benar-benar terhindar dari sentuhan itu. Itu membuat aku mempercepat langkah, bahkan lebih cepat dari Anne sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Control (SAB)
RomanceKaiya Davidson mengenali monster seperti apa Jaxen Dillard sejak pandangan pertama. Dan dia begitu menghindari menarik perhatian pria itu. Membuat Jaxen tertarik padamu hanya akan mendatangkan neraka dalam hidupmu. Tapi saat bahaya mendatangi Kaiya...