6

178 43 1
                                    

Setelah memberikan keterangan di mana jelas ada keraguan saat polisi itu mendengarkan aku, aku akhirnya dibiarkan keluar sebentar untuk menenangkan diri. Polisi mengatakan akan mencari pemilik kamarnya. Dan akan mendatangkannya.

Aku tadinya mau mengatakan pada polisi kalau aku tidak mau melihatnya. Setidaknya, lebih baik tidak ada pertemuan pada kami. Aku masih dihantui mimpi buruk oleh pria yang tidak kukenali wajahnya itu. Jika sampai ada pertemuan lagi, entah berapa banyak mimpi buruk yang bisa datang ke alam bawah sadarku.

Tapi jika memikirkannya lagi, aku merasakan perasaan penasaran yang luar biasa. Yang tidak akan bisa kuabaikan dengan mudah. Aku ingin melihatnya. Apakah sesuai dengan dugaanku atau malah lebih buruk dari yang aku dugakan.

Jadi aku menunggunya, meski dengan degup keras di jantungku. Aku melangkah meninggalkan ruangan itu, polisi yang menanganiku dalam interogasi memandang aku cukup lama. Bahkan dia tidak mengalihkan pandangannya saat aku balas menatapnya. Aku tidak mengerti arti tatapannya. Apakah dia curiga aku pelakunya?

Tapi aku hanya perempuan biasa. Mana mungkin aku akan bisa membuat Albert melakukan bunuh diri seperti itu? Apalagi aku sendiri adalah korban mereka. Apes sekali hidupku, sudah menjadi korban malah dituduhkan menjadi tersangka.

Kalau aku tahu Albert jatuh dari gedung, apakah lebih baik kalau aku tidak mengatakan yang sebenarnya? Tapi siapa yang tahu apa yang dipikirkan bajingan pembunuh itu. Aku sudah menjadi targetnya pastinya. Aku mendengar suaranya, dia mungkin berpikir kalau aku akan membuat masalah dengannya.

Aku tidak bisa membuat diriku sendiri berada dalam bahaya. Kejujuran adalah cara terbaiknya, ke depannya aku akan memikirkannya.

Ketika aku berada di bagian lantai dua dengan berdiri diam di dekat jendela, seseorang tiba-tiba meraih bahuku dengan kasar dan memutar tubuhku. Aku sudah berdetak dengan keras, berpikir mungkin pria itu sudah menemukanku.

Tapi saat aku berbalik dan menatap sosok yang sudah membawaku pada kekhawatiran, aku menemukan Anne di sana dengan wajah merah dan nafas yang tampak tidak teratur. Seolah dia menemukan penjahat paling keji yang selama ini dicarinya.

Apa yang dilakukan Anne menyadarkan aku kalau aku memang memiliki ketakutan yang gelap pada kedatangan pria itu ke dalam hidupku.

"Apa yang kau berikan pada Albert tadi malam? Apa?"

Wajahku berkerut tidak senang. "Apa yang kau katakan."

"Kau wanita jalang terkutuk! Aku tahu kau pelakunya. Polisi mungkin akan tertipu dengan penampilanmu, tapi aku tahu. Kau selalu memiliki bayangan kematian di sepanjang hidupmu. Kau membunuhnya! Kau membunuh sahabatku!" Anne menangis dengan tersedu. Seperti seseorang sudah merebut kebahagiaan dalam hidupnya.

Aku memandangnya dengan tidak percaya. Setelah apa yang dia perbuat padaku, dia masih bisa berdiri di depanku tanpa malu sama sekali. Memberikan tuduhan padaku seolah tuduhannya adalah kebenaran tanpa ada kesalahan.

Memang aku yang harusnya terakhir melihat Albert malam itu. Tapi aku sudah mengatakan kalau di ruangan itu bukan hanya ada kami. Dan juga, aku tidak mengerti kenapa Albert bisa sampai ke atap gedung hanya untuk menjatuhkan dirinya dengan senang hati. Mungkin Albert memang gila.

"Aku akan membuat kau mendekam di penjara. Kau tidak akan pernah memiliki masa depan. Dasar kau jalan pembunuh!" Anne terus mendekat dan menarik-narik bajuku yang membuat aku berusaha melepaskannya. Tapi semakin aku berusaha, semakin kuat dia menariknya. Seolah ada tenaga lain yang membantunya untuk membuat penampilanku menjadi berantakan.

"Hentikan!" seru seseorang yang baru saja datang.

Aku menatap sosok itu. Ternyata polisi yang menginterogasiku. Dia bersama beberapa temannya datang melerai. Ada yang memegang Anne dan polisi yang aku kenali itu menarik aku agar tidak dapat dijangkau oleh gadis gila itu. Polisi itu kemudian berdiri di depanku, memperhatikan wajahku.

"Kau tidak apa-apa?" tanyanya dengan nada penuh khawatir.

Aku menepis tangannya yang hendak menyentuh pipiku. "Aku tidak apa-apa," jawabku dingin. Tahu kalau dia sama sekali tidak berada pada posisi memihakku. Dia juga memberikan kecurigaan padak. Jadi buat apa bersikap sok perhatian sekarang.

Polisi yang bernama Jamie Arnold itu menatap ke arah Anne yang masih dipenuhi dengan kemarahan. "Jika kau masih terus bersikap tidak masuk akal seperti ini, maka kau harus siap dimasukkan ke penjara." Jamie menunjuk ke arah Anne.

Mendengar itu Anne bukannya berhenti, dia malah mendengus. "Kau mengatakannya karena menyukainya, kan? Kau tergila-gila padanya seperti semua pria yang melihatnya!"

Aku memandang Anne yang tidak masuk akal.

"Kalian semua pria sama saja. Tidak bisa melihat kecantikan langsung memberikan pembelaan tidak masuk akal. Dia pembunuhnya. Bukankah dia yang terakhir bersama Albert. Maka dia pembunuhnya! Apalagi yang harus dipertanyakan?"

"Nona Branch, kau tidak tahu kalau tuan Bell memiliki riwayat depresi karena penyakit HIV yang dideritanya?" tanya salah satu polisi yang sepertinya sudah tidak tahan dengan keributan Anne.

Anne yang mendengar pernyataan itu memandang polisi muda itu dengan tidak percaya. "Apa yang kau katakan? Aku tidak percaya!"

"Kau terus mengatakan kalau kau teman tuan Bell. Tapi kau bahkan tidak tahu kalau dia sakit? Jiwanya sakit."

Anne berteriak seperti orang kehilangan kewarasannya. "Tidak mungkin! Albert tidak akan bunuh diri. Dia tidak mungkin bunuh diri! Kalian semua membunuhnya! Kalian bekerjasama membunuhnya!" Anne menunjuk dengan berani. Menyalahkan semua orang.

Tidak ada lagi yang memegang Anne. Dan perempuan itu malah jatuh tidak sadarkan diri. Beberapa polisi yang ada di sana segera meraih tubuhnya dan membawanya ke tempat di mana dia bisa mendapatkan pertolongan.

Aku menatap Anne yang kacau dan hancur. Sepertinya hasil akhir untuk apa yang dilakukan Anne harus membuat dia menanggungnya sendiri. Jika Albert sampai berhasil melakukan apa yang mereka rencanakan, apakah aku akhirnya yang akan menjadi gila seperti itu.

"Pemilik kamar sudah datang," ucap bawahan Jamie memberitahu.

Aku menatap Jamie yang ada di belakangku. Lidahku kelu, bibirku bergetar dan sepertinya Jamie menyadari ketakutan yang coba aku sembunyikan.

"Dia datang?" aku memberanikan diri bertanya.

Jamie mengangguk. "Apa kau mau melihatnya? Kalau tidak, aku bisa—"

"Aku akan melihatnya," ucapku dengan cepat. Tidak mau ketakutanku membuat aku menahan apa yang memang harus dilakukan. Aku perlu tahu seperti apa tersangkanya agar di masa depan aku bisa mewaspadainya.

"Aku akan di sana bersamamu. Jangan khawatir."

Aku mengangguk dengan aneh ke arah Jamie. Merasa dia bersikap janggal tapi aku tidak tahu di mana letak janggalnya. Aku hanya mengikuti langkahnya tanpa mengatakan apa pun.

Dia membawaku ke ruangan di mana banyak orang di sana. Dengan beberapa meja dan kursi berderet. Seseorang sedang duduk di kursi yang tampak sengaja disediakan untuknya dengan khusus. Dengan kamar yang dimilikinya, sepertinya dia memang orang kaya yang tidak dapat dianggap sepele.

Apa aku membuat masalah dengan membuat dia datang ke sini?

Jamie membawa kami mendekat. Semakin aku mendekat, semakin aku waspada. Hanya saja apa yang dia pancarkan tidak seperti yang aku dugakan. Tidak ada intimidasi atau aura membunuh yang aku rasakan. Segalanya terlalu biasa.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa ya
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Crazy Control (SAB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang