Pada akhirnya aku berhenti berlari. Aku menyerah pada keadaan di mana aku tahu kalau aku tidak akan pernah bisa berlari dari tempat ini. Sejak dia berhasil menangkapku, dekrit kepemilikan sudah menjadi miliknya. Tidak ada jalan untuk mempertentangkan apa yang menjadi ketidakinginaku.
Dia sudah membuat aku masuk ke wilayahnya, lantas bagaimana aku dengan dungunya malah coba melarikan diri. Bahkan tanpa dia mengejarku, aku tahu tidak ada tempat untuk pergi.
Apalagi sekarang, setelah aku berhenti dengan begitu banyak kegelapan di sekitarku, aku tidak tahu hendak ke mana. Mau kembali juga aku tidak tahu arah mana yang harus aku ambil. Apalagi saat aku merasakan dingin dan memeluk sampai ke tulang. Dan suara binatang malam yang mengerikan semakin mengedikkan ketenangannya.
Beberapa langkah mundur, aku berhasil membawa kakiku roboh dengan sesuatu yang sepertinya menarik kakiku. Aku jatuh dengan menyedihkan. Celana panjangku sepertinya robek karena aku bisa merasakan angin dingin mengusap betisku. Aku memicingkan mata melewati sesuatu yang membuat aku terjatuh, tapi kemudian aku penasaran pada benda menonjol yang tampak seperti sebuah tangan.
Bergerak lebih dekat aku memejamkan mata dan membukanya. Melakukannya beberapa kali menjernihkan pandanganku dalam kegelapan. Dan aku merasakan darah surut di kepalaku.
Suara teriakanku bergema di hutan yang sepi itu. Aku merangkak pergi berusaha mendapati kewarasanku sendiri saat aku yakin kalau benda menonjol itu sepertinya memang mayat. Dan yang membuat aku lebih terkejut adalah ternyata tidak hanya ada satu mayat. Ada banyak mayat dan ke mana pun aku menatap, aku akan melihat tubuh-tubuh yang tampak sudah membusuk itu.
Wajahku sudah tidak tahu sepucat apa sekarang. Airmata mengalir dengan ketakutan dan aku berlari seperti kehilangan taliku. Aku bahkan tidak lagi peduli dengan ke mana aku melangkah, aku hanya ingin kabur dari lautan mayat itu.
Begitu aku kehilangan kendali pada langkahku, aku menemukan kalau aku sudah melayang dan jurang malah ada di depanku dengan bawahnya yang tidak kutahu apa. Aku menutup mata, siap menjemput kematianku sendiri.
Tapi saat aku yakin kalau aku tidak akan selamat, seseorang meraih pinggangku dan menarikku kembali ke permukaan. Aku dipeluk dengan erat seolah tangan itu tidak akan pernah melepaskan aku seumur hidupnya. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang tenang. Menyatakn lebih banyak ketidaknyamanan padaku.
Karena aku menyukainya, itulah yang membuat aku tidak senang. Bagaimana bisa seseorang yang membuat aku berada di situasi seperti ini membuat aku suka?
Aku memang kadang keluar dari otak normalku, tapi sepanjang waktu hidupku, aku tidak pernah berada pada situasi seumit ini.
"Kau menakutiku, Butter," ucapnya. Bisikannya lembut dan dalam. Bibirnya jelas ada di dekat telingaku, itu membuat aku bisa merasakan kelembutannya.
Aku menghindar berusaha melepaskan tangannya. "Lepaskan aku," pintaku, setengah memerintah. Karena aku terlalu kesal dan lelah untuk bersikap takut padanya. Apalagi saat ini hal terakhir yang aku inginkan adalah berada dalam rengkuhannya.
"Kau sungguh ingin aku melepaskanmu, Butter?"
"Tentu saja. Lepaskan aku!" tegasku lagi.
"Baik. Kau yang memintanya." Dia melepaskanku kemudian setelah menyatakan kalimat yang dia yakini bahwa aku letak salahnya, bukan dirinya.
Tapi kemudian aku mengerti kenapa dia menegaskan aku yang menginginkan. Setelah melepaskan aku, aku benar-benar tidak memiliki pijakan sama sekali, membuat tubuhku terjun dengan bebas dan dengan cara yang mengerikan.
Menggapai apa pun yang aku bisa, dia dengan mudah membuat tanganku meraih tangannya. Dia menggenggam tanganku dan aku bahkan bisa melihat meski dalam kegelapan kalau dia menikmati apa yang sedang terjadi.
"Kau—"
Suara desisan lembutnya terdengar. Dia meminta aku tidak bicara. "Kau sungguh mau aku melepaskanmu? Jangan banyak bicara, aku akan menurut pada apapun yang kau katakan."
Aku berpikir, apakah benar meminta dia melepaskan aku? Apa yang ada di bawah sana? Apakah hal mengerikan yang mungkin akan membawa lebih buruk dari kematian?
Di atas saja segalanya sudah buruk dengan banyaknya mayat. Apalagi di bawah sana. Sepertinya aku lebih takut melihat kematian dari pada memikirkan bisa saja kematianku sendiri yang akan kutemukan. Dia dengan suara lembutnya yang seolah membujuk dunia percaya padanya membuat aku tidak dapat berkelit. Aku membutuhkannya dan itu menyakiti diriku sendiri.
Satu jarinya sudah dilepaskan, aku memandang dia melotot. Entah dia melihatnya atau tidak. Tapi aku benar-benar menatap dia dengan penuh kemarahan. Apalagi saat dia memisahkan satu jari lagi dari pegangannya. Membuat aku hanya memiliki tiga jarinya yang tersisa.
Saat manusia tersudut, mereka tidak lagi peduli pada siapa ia berpegangan. Selama kehidupan masih direguk dengan indah. Dan itulah yang terjadi padaku. Aku hanya manusia biasa, bukan dewa atau iblis. Kematian masih menakutkan bagiku. Masih membawaku pada kesuraman yang tidak berujung.
Jadi sebelum dia melepaskan satu jari lagi, yang sepertinya akan segera dia lakukan, aku bisa merasakan. Aku sudah lebih dulu meraih pergelangannya dengan tanganku yang lain. Membuat dia tidak dapat melepaskannya. \
Meski aku sendiri bisa membayangkan seringai kemenangannya, aku tidak peduli. Selama aku bisa bertahan.
"Apa yang kau inginkan, Butter?"
"Tarik aku ...."
"Butter? Apa kau sedang menghisap gigimu? Aku tidak mendengarmu."
"Kau—"
"Baiklah," potongnya. "Kau sepertinya memang tidak membutuhkan aku."
"Tunggu," aku menahan dengan menggigit lidah sendiri. "Tarik aku. Tarik!" seruku dengan kemarahan sekaligus rasa malu yang mengganggu.
Dia hampir tertawa sekarang. Aku benar-benar coba menulikan diri. "Panggil namaku."
"Namamu? Aku tidak tahu namamu."
"Jaxen."
Aku terdiam sesaat, sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Tapi entah di mana. Aku coba mencari dalam ingatan tergelapku dan aku tidak pernah tahu nama itu ada. Lantas kenapa rasanya begitu familiar?
Tapi sekarang bukan waktunya memikirkan namanya. Dia ingin aku menyebut namanya, maka aku akan melakukannya. Selama dia bisa membuat kakiku berpijak di bumi dan bukannya menggantung seperti nyawaku yang bergantung. "Jaxen, aku mohon ..." Aku benar-benar menelan empedu dalam suaraku. "Tarik aku." Aku memejamkan mata setelah mengatakannya. Sepertinya aku baru saja mempermalukan diriku sendiri. Karena pada akhirnya, dia yang coba membuat aku melarikan diri malah adalah orang yang coba aku andalkan saat aku berada dalam ambang kehancurkan.
Apakah aku tidak punya prinsip? Atau aku tidak memiliki pondasi kepercayaan diri? Aku sepertinya memang target yang paling tepat untuknya. Aku ketakutan hanya dengan kematian dan dia dapat dengan mudah membawa kematian. Itu membuat aku menjadi kombinasi yang sempurna dalam teror kegelapannya.
"Karena Butter-ku membutuhkan bantuanku, maka aku akan melakukannya. Untukmu, Butter."
Aku hampir mendengar mendengarnya. Seolah dia sedang melakuka amal yang membuat kehidupannya sama sekali tidak memiliki keburukan. Apalagi saat dia menarikku hanya dalam satu gerakan. Terlalu mudah dan terlalu enteng baginya sampai hampir mustahil membuat diri sendiri berada dalam intonasi yang sama dengannya.
***
Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di akuSampai jumpa mingdep 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Control (SAB)
RomanceKaiya Davidson mengenali monster seperti apa Jaxen Dillard sejak pandangan pertama. Dan dia begitu menghindari menarik perhatian pria itu. Membuat Jaxen tertarik padamu hanya akan mendatangkan neraka dalam hidupmu. Tapi saat bahaya mendatangi Kaiya...