Semakin aku mendekat, semakin aku tidak mengerti. Kenapa perasaan yang ditimbulkan berbeda pada punggung asing itu. Bukankah malah itu dia menciptakan ruang sendiri bagi perasaanku? Bagi ketakutan yang tidak bisa kujelaskan?
Lantas kenapa sekarang tanda itu tidak memiliki jejak sama sekali?
"Tuan Cooper?"
Pria yang dipanggil segera berbalik, memperlihatkan wajah tampan dengan garis yang tegas. Dia menatap ke arah polisi yang memanggil, kemudian menatap ke arahku yang sedang memperhatikannya. Pria itu tampak tertarik menatapku sejenak, tapi kemudian dia bersikap biasa seolah aku tidak terlalu penting baginya.
Dan bagiku, dia juga tidak penting. Karena aku yakin pria malam itu bukan dirinya. Dia sama sekali tidak menakutkan. Dia hanya membuat tidak nyaman tapi tidak lebih dari itu.
"Dia adalah pemilik kamar yang kau sebutkan," Jamie memberitahu.
Pria yang dipanggil tuan Cooper segera berdiri. Dia bergerak mendekat dan mengulurkan tangan. "Nona Davidson, saya yakin ada kesalahpahaman antara ingatan anda dan kamar saya. Karena malam itu saya benar-benar tidak tahu anda dan pria yang mati itu menyelinap masuk."
Aku memperhatikannya. Dia sungguh tidak tahu? Atau dia menyembunyikan kebenaran dibaliknya? "Kau yakin di kamar itu tidak hanya ada kau sendiri?" tanyaku. Memastikan kalau dia memang sedang berpura-pura bodoh atau dia memang bodoh.
"Aku tidak mengatakan sendiri."
Aku memandang tertarik. "Lalu di mana dia?"
"Dia?" wajah tuan Cooper penuh dengan kebingungan.
"Seseorang yang bersamamu."
"Asistenku. Dia sebentar lagi akan datang ... ah, dia sudah datang."
Seorang perempuan bergerak mendekat, memandang pada atasannya. "Bos?"
"Malam tadi, bukankah kau bersamaku semalaman dan tidak meninggalkan aku?" tanya tuan Cooper itu dengan nada yang sangat biasa. Tidak ada celah pada setiap kalimatnya yang bisa membuat orang mempertanyakan kebenaran apa yang dia katakan.
Tapi aku tahu apa yang aku lihat. Aku tahu apa yang aku lihat. Dan dua orang ini sedang menyembunyikan kebenarannya. Entah siapa pria itu bagi mereka, tapi sepertinya mereka rela mengorbankan apa pun demi menutupinya.
"Bos saya sedang dalam sakit kepala yang parah malam tadi. Saya tidak bisa meninggalkan ruangan dan terus bersamanya. Jika anda tidak percaya, saya bisa memanggilkan saksi." Asisten wanita itu sama seperti atasannya. Mereka sungguh tidak memiliki celah.
"Nona Kaiya Davidson, aku hanya ingin bertanya satu hal," ucap tuan Cooper.
"Apa yang kau tanyakan?"
"Malam tadi, apa anda minum? Mungkin anda salah melihat dan salah mendengar. Saya tidak pernah membunuh siapa pun jika itu alasan anda mendatangkan saya ke sini."
"Kau bukan orangnya."
"Hah?"
"Kau bukan pria itu. Di mana kau menyembunyikannya?"
Aku seperti Anne yang hilang kesabaran dan mulai menyentuh pakaian tuan Cooper. Mempertanyakan di mana keberadaan pria itu. Karena aku tidak mau hidup dalam ketakutan, di mana pria itu bisa mengintaiku dengan semau hatinya. Seolah segalanya tidak cukup mengerikan saja. Sekarang aku tahu ada orang penting dibelakang pria itu, maka itu akan membuat segalanya menjadi lebih tidak tertebak lagi.
Apa pria itu akan membunuhku? Aku bisa mengingat dengan jelas kematian Albert yang ada di depan mataku. Sepertinya itu memang nafas terakhirnya saat memandangku.
"Lepaskan dia, Kaiya. Kita bicarakan semuanya baik-baik." Jamie coba melerai.
Tapi tidak perlu banyak kata, aku sudah mengerti. Tidak akan ada yang dapat ditemukan pada apa yang coba mereka sembunyikan. Mereka dapatkan yang mereka mau, aku tidak akan memperpanjangnya. Aku tidak akan memiliki perlindungan lagi. Karena aku sudah salah sejak awal. Kalau aku tidak mengusik maka mungkin dia tidak akan menjadikan aku targetnya. Tapi sekarang berbeda.
Aku melepaskannya. Mundur dua langkah, aku menatap Jamie. "Aku harus pulang."
"Pulang?"
"Sepertinya aku salah ingatan. Aku tidak jelas dengan malam itu. Aku harus pergi." Aku segera melangkah dengan cepat. Mengabaikan semuanya hingga Jamie mengejarku.
Pandanganku dan tuan Cooper itu bertemu. Dia memberikan aku senyuman tipis yang kalau orang tidak tahu arti dibalik senyuman itu maka akan mengatakan bahwa pria itu menawan dengan cara yang tidak dapat dijabarkan. Tapi dengan siapa dia berteman, aku tidak menemukan keindahan pada senyuman itu.
Senyuman itu memiliki arti yang mengerikan. Bahkan bagiku yang baru pertama melihatnya. Tapi seseram atau semisterius apa pun pria itu, aku tahu kalau dia bukan pria yang malam itu membunuh Albert. Entah apa yang membuat aku begitu terkoneksi dengan pria itu. Aku hanya merasa seolah aku sudah lama mengenalnya.
Aku bergerak ke anak tangga tapi seseorang lebih dulu menghentikanku. Aku menatapnya dengan tidak senang. "Aku tidak boleh pergi?" kutanya dia dengan penuh ketidaksenangan.
Dia merasakannya, sesuatu mengusiknya. Tapi Jamie tidak mau mengatakannya. Seolah Jamie mengetahui sesuatu tapi dari pada mengatakannya padaku, dia lebih suka tidak mengatakannya. "Tidak, kau tentu boleh pergi."
"Lalu?" Aku menatap langkah di mana dia menghalangiku.
Jamie tampaknya memahami kefrustasianku. Tapi kenapa dia harus paham? Kami bahkan tidak berinteraksi lama. Apa yang dia inginkan dariku? Selama ini mereka yang mendekat selalu menginginkan sesuatu. Jadi apa kali ini?
"Kau bisa menyingkir? Aku harus pulang."
"Aku akan mengantarmu."
"Mengapa?"
"Huh?"
"Kau mau mengantarku, kenapa kau melakukannya?"
Jamie tampak kebingungan dalam menjawabnya. "Itu ... maksudku, bukankah kau tidak membawa mobil?"
"Aku tidak membawanya dan tidak memilikinya. Aku juga tidak bisa mengendarainya jadi aku akan naik taksi."
"Uang taksi, kau bisa menyimpannnya. Biar aku membawamu kembali. Aku yang menjemputmu, jadi setidaknya aku harus bertanggung jawab sampai akhir."
Aku memandang aneh padanya. "Apakah kau melakukannya untuk semua orang yang kau jemput?"
Jamie tampak kehilangan ketenangannya sendiri. Dia sudah hendak bicara tapi aku menahannya. Tidak ingin dia memberikan lebih banyak alasan hanya karena dia coba bersikap baik padaku.
"Aku akan menunggu di depan." Aku melangkah melewatinya kemudian.
"Tunggu aku!"
Aku tidak memandangnya dan mempercepat langkah. Melewati anak tangga dengan cepat dan segera tiba di luar kantor polisi. Aku mendongak menatap langit biru di atas sana. Kecerahannya membuat aku tidak bisa menahan senyuman. Setidaknya masih ada langit cerah yang dapat dilihat dengan mata telanjang.
Tidak tahu kapan aku akan mati, aku hanya ingin menikmati waktu dengan benar. Sampai batas waktu itu sendiri bisa membuat aku menerima segala apa yang sudah menjadi takdirku.
Aku mendesah. Suara klakson membuyarkan lamunanku. Mobil berhenti di depanku dan aku menemukan Jamie yang sudah keluar.
***
Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di akuSampai jumpa mingdep 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Control (SAB)
RomanceKaiya Davidson mengenali monster seperti apa Jaxen Dillard sejak pandangan pertama. Dan dia begitu menghindari menarik perhatian pria itu. Membuat Jaxen tertarik padamu hanya akan mendatangkan neraka dalam hidupmu. Tapi saat bahaya mendatangi Kaiya...