9

157 38 4
                                    

"Halo, Butter?"

Aku mundur dengan lenganku. Berusaha menjaga jarak darinya. Dengan ketakutan yang mulai memenuhi diriku. Memberikan lebih banyak kenyataan sekarang dibandingkan dengan khayalan.

Dia meraih pergelangan kakiku dengan satu tangannya. Menariknya dengan kasar sampai aku kembali ke depannya. Dia membuat aku tidak berdaya saat tangan itu mencengkram dengan kuat.

"Jangan lari, Butter. Aku sedang tidak ingin mengejar."

"Lepaskan aku," suaraku berbisik. Aku ingin tegar dan tidak terdengar ketakutan. Tapi bahkan sekarang suaraku bergetar dan tidak terkendalikan.

"Kalau aku melepaskanmu, lalu apa selanjutnya?"

Aku memandang dia tidak mengerti. Dia lebih baik melepaskan aku dan tidak mengganggu hidupku lagi. Tapi dengan perbuatan yang sudah aku lakukan padanya, dia sepertinya tidak akan pernah melepaskan aku. Aku akan bernasib sama dengan Anne.

Aku melirik ke arah Anne. Dia tampak sedang sekarat. Pandangannya kabur dengan airmata yang seperti mengeluarkan darah. Bola matanya bahkan memerah.

Meneguk ludah, aku melirik ke arah pria itu. Bukan ke matanya, aku tidak akan sanggup. Aku melirik ke rahangnya.

"Maaf."

"Hm?"

Aku bangun, duduk dengan agak serampangan. "Kau membantuku dengan pria yang coba melecehkan aku. Tapi aku malah melaporkanmu dengan tidak tahu diri. Aku bersalah, maafkan aku. Bisakah kau melepaskan aku, aku tidak akan mengatakan apa pun lagi soal apa yang kau lakukan."

Pria itu memandang aku dengan tertarik. "Meski aku membunuhnya di depan matamu?"

Aku melirik Anne. Kami sudah bersahabat cukup lama. Aku ingin tidak punya hati dan mengatakan Anne tidak ada hubungan denganku. Tapi di saat aku tidak membutuhkan hati, dia malah menjadi lebih besar dari yang aku perkirakan. Membuat aku kewalahan sendiri dengan apa yang ada di depan mataku. Pilihan yang sama sekali tidak ingin kupilih satu pun.

"Bisakah kau melepaskannya?" tanyaku.

Dia menyeringai. Hampir terkekeh. "Bukankah kau terlalu baik, Butter? Dia hampir membunuhmu."

"Dia ... pernah menjadi temanku."

Pria itu mendekat, sangat dekat sampai tidak menginginkan jarak di antara kami. Aku yang mengalihkan wajahku agar dia tidak dapat mencapaiku. "Aku tidak dapat mengabulkannya."

Aku memandang lewat ekor mataku. "Yang mana?"

Dia memiringkan kepalanya, membuat pandangannya tampak menarik bagi mataku. "Keduanya."

"Kau—"

Dia terkekeh geli. Kemudian dia berdiri dan bergerak ke arah Anne. Dengan celana putih itu, dia harusnya tidak mengotorinya. Sedikit darah akan sulit untuk dibersihkan.

Pandangan pria itu mengarah kembali padaku. Dia memberikan jari telunjuk yang ditempelkan di bibirnya. Kemudian dia menggerakkan tangannya ke arah telinganya.

Dia meminta aku tidak bersuara dan juga tidak mendengarkan. Tapi dia memperbolehkan aku melihatnya? Dia coba membuat aku masuk ke dunianya yang mengerikan.

Tapi aku tidak menunggu, Anne sudah menandatangani nyawanya dengan malaikat maut. Aku tidak. Jadi tanpa mengatakan apa pun, aku dengan tubuh lemah segera bergerak berdiri. Coba memantapkan kaki sendiri dan melangkah dengan cepat ke arah pintu yang tertutup.

Aku menatap ke belakang sebelum membuka pintu itu. Dia memandangku dengan kedipan nakalnya. Kemudian suara benturan terdengar. Seperti batok kepala yang sengaja dipecahkan.

Nafasku naik turun. Berusaha mengimbangi dengan langkah yang terus coba kupertahankan berada di ritme yang sama. Aku tidak mau kalah dengan keadaan. Aku tidak mau kalah pada monster sepertinya. Aku harus coba bertahan sampai akhir. Tidak ada kematian malam ini untukku.

Berdiri di depan lift, aku menunggu benda persegi itu bergerak. Tapi tidak ada tanda-tanda akan segera terbuka. Tahu kalau aku dikejar waktu, aku segera bergerak ke arah anak tangga. Hanya beberapa anak tangga, aku akan berhasil sampai ke lantai bawah. Tapi sebuah tangan meraih pinggangku, saat aku menatap ke bawah, tangan itu penuh dengan warna merah cerah. Juga aroma anyir yang membuat aku berteriak seperti orang kesurupan.

Dia meraihku dengan cepat, membenturkan tubuhku ke dinding dan kemudian membuat aku menempel di sana. Aku menatapnya dengan takut, mendorongnya untuk menjauh dariku. Tapi tangannya segera mencengkram ke leherku. Menekan dengan kuat di sana sampai hampir mematahkannya, Jika dia melakukan dengan lebih keras, mungkin aku akan menjadi kematian selanjutnya.

Dia tersenyum. "Kau takut?"

"Aku tidak akan mengatakan apapun. Aku tidak akan melakukan apapun. Aku mohon, aku sungguh memohon."

"Apa kau takut mati, Butter?"

"Siapa yang tidak takut mati."

"Aku tidak."

Aku mendengus. "Kau hanya belum berhadapan dengan kematian. Maka dari itu kau mengatakannya dengan begitu tenang. Apa yang akan kau lakukan kalau ada pisau mengarah ke jantungmu?" Kupandang dia meremehkan.

"Ah, benar. Mana mungkin aku mengatakannya tanpa mencoba menjadi korbannya. Baiklah, aku akan mencobanya."

Wajahku berkerut tidak yakin. Apa yang coba dia lakukan?

Dia meraih sesuatu di saku belakang celana panjangnya. Menunjukkan padaku pisau buah yang seharusnya menjadi senjata Anne. Kapan dia mengambilnya.

Yang mengejutkan selanjutnya adalah dia yang memaksaku memegang gagang pisau kecil itu, mengarahkan ketajamannya ke arah dadanya. "Lakukan, Butter. Kau akan menjadi pembunuhnya dan aku korbannya."

"Aku tidak mau menjadi pembunuh."

"Kalau kau tidak melakukannya, maka aku akan membunuhmu. Kau lebih memilih mati dari pada membunuhku?"

Dia gila. Pria ini sungguh gila. Kenapa pria gila bisa begitu tampan? Dia harusnya jelek agar orang lain waspada padanya. Berpenampilan bak pangeran yang keluar dari buku dongeng seperti ini sama sekali tidak cocok untuknya.

Tapi bukankah sesuatu yang indah memang selalu memiliki racun di sisinya. Seperti mawar dengan durinya, lilin dengan cahayanya. Sesuatu indah tidak kerapkali memberikan ketakutan yang nyata.

Aku pikir itu hanya gertakan. Dia hanya sedang mencoba membuat aku takut dan aku akan segera melepaskan pisau buah itu dari genggaman. Kemudian aku akan menyerahkan diri padanya. Aku sungguh berpikir demikian. Tapi aku salah, dia memang sudah gila sejak lahir.

Karena sekarang, tanganku yang dipaksa memegang gagang pisau buah itu sudah berada dalam cengkraman tangannya. Dia memaksa tanganku bergerak menghujam ketajaman pisau itu ke dadanya sampai aku benar-benar menemukan luka dengan darah deras mengalir. Kaos putih tipis yang dia kenakan segera terobek oleh tajamnya pisau yang terus masuk mencipatakn lubang di dadanya.

Saat dia melihat darah segar itu menetes, aku bisa melihat kepuasan di wajahnya. Seolah sesuatu yang selama ini dia inginkan akhirnya bisa dia dapatkan.

Aku berteriak dengan gila. "TIDAK!" seruku mendorong dia dengan wajah keras.

***

Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di aku

Sampai jumpa mingdep 😘

Crazy Control (SAB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang