3

187 48 3
                                    

Albert meraih tubuhku dengan kedua tangannya. Memelukku dari belakang, aku sudah melawan dan hendak berteriak. Tapi dia membekap mulutku dengan satu tangan dan menarik aku pergi.

Menyeretku dengan paksa dan tanpa mengenal takut saat beberapa kali meremas lenganku yang terus melawannya. Dia tampak sibuk mencari pintu ruangan yang terbuka. Beberapa pintu yang didobrak tidak memberikan hasil padanya. Itu membuat dia berdecak kesal.

Sementara aku masih sibuk melawannnya sampai dia menemukan pintu paling ujung yang terdorong terbuka. Ruangan itu tampaknya adalah ruangan yang lebih mewah dari ruangan lain. Gagang pintuny saja berbeda dan bagian di dalam ruangannya juga terlihat begitu mewah mesih hanya dalam keremangan.

Albert melepaskan aku dengan kekehan senang. "Aku sudah menyukaimu sejak pertama melihatku, Kaiya. Kau harusnya juga menerimaku tanpa perlawanan. Maka semua ini tidak akan terjadi."

Aku mundur dan terus mundur. Aroma ketakutanku jelas sudah tersebar ke seluruh ruangan. "Anne tidak akan senang. Dia akan membencimu."

Tawa itu menggema. Suaranya begitu memuakkan. "Anne?"

Aku meremas bagian sandaran sofa, terus coba mundur. "Dia tahu," tebakku. "Dia merencanakannya."

Mendengar sebutan yang diberikan Albert dan ejaannya pada nama Anne, aku tahu kalau semua ini tidak akan pernah terjadi kalau saja Anne tidak terlibat. Anne sengaja membawaku ke sini, bukan untuk merayakan ulang tahun melainkan untuk menyerahkan aku pada Albert.

Aku tidak percaya, persahabatan yang aku pikir tidak akan ada pengkhianatan malah berakhir seperti ini. Malah Anne memperlakukan aku lebih buruk dari orang lain pada akhirnya. Seolah segalanya tidak terlalu buruk saja sekarang, karena kalimat selanjutnya yang aku dengar dari Albert hampir membunuh detak jantungku.

"Anne bahkan tahu kalau aku kena HIV. Tapi dia mengatakan kalau kau tidak akan keberatan. Karena kau menyukai pria dengan penyakit kelamin."

"Dia berbohong!"

"Masa bodoh berbohong atau tidak. Entah apa masalahmu dengannya, tapi dia sudah menyerahkanmu padaku. Aku membayar mahal untukmu. Bahkan aku menggadaikan rumahku untuk membuat Anne setuju membawamu ke hadapanku. Jadi aku tidak bisa melepaskanmu, Kaiya."

"Kau tidak akan pernah bisa menyentuhku," tekan gadis itu percaya diri.

Suara kekehan lembut itu terdengar. "Kenapa? Apa kau akan memanggil bantuan? Sayang sekali, bukankah ponselmu ada di mobil Anne?"

Anne bahkan merencanakannya. Dia memang meninggalkan ponselnya di sana, Anne mengatakan kalau mereka tidak membutuhkan ponsel. Sudah sangat aneh sejak awal, tapi kenapa aku tidak dapat membacanya dengan jelas? Aku mengabaikan sesuatu yang begitu penting dan itu membuat aku sangat kesal.

"Kemari dan puaskan saja aku. Aku akan membuat kau menjadi wanita terakhirku. Aku tidak akan menyentuh orang lain selain dirimu dan aku akan memuaskanmu."

"Gila!" aku sudah berbalik dan melarikan diri. Dia mengejarku di ruangan itu dan berusaha menangkapku, tapi aku melempar segala barang ke arahnya. Tidak peduli itu barang yang bisa pecah atau tidak. Aku melemparkan semuanya dan aku meraih gagang pintu lain selain pintu keluar. Menemukan ruangan baru yang tampaknya lebih suram dari ruangan sebelumnya.

Tapi aku tidak segera masuk. Bukan karena aku takut kegelapan. Jelas kegelapan sama sekali tidak menakutkan bagiku. Yang menakutkan adalah apa yang ada dibalik kegelapan itu sendiri dan aku tahu kalau kegelapan yang aku pandang sekarang memiliki isinya.

Yang membuat aku terkejut adalah tubuhku yang bereaksi seolah mengenali ketakutan ini. Aku mundur dua langkah sampai membentur dada Albert yang hendak menangkapku.

"Kau melemparkan diri padaku?" tanya Albert dengan sukacita.

Tapi suara Albert juga tidak berlangsung lama. Sepertinya dia melihat apa yang aku lihat, itu membuat dia terdiam saat sosok dalam kegelapan itu mulai berdiri dengan gerakan perlahan seolah video yang diberikan bagian perlambatan.

Menelan ludah dengan susah payah, aku meremas tanganku ke gaun merah milikku. Merasakan aliran darahku memuncak dengan cara yang amat buruk. Aku bahkan tidak dapat lagi mengetahui apakah nafasku saat ini masih berjalan dengan normal atau malah sudah menjadi nafas mati.

"Siapa kau?" tanya Albert mengambil langkah mendekat. Dia maju selangkah mempertanyakan ada orang lain di ruangan ini. Dia seharusnya tahu kalau dia tidak diizinkan memasuki ruangan orang lain dengan mudah. Tapi sekarang dia tampaknya sibuk menyalahkan sosok yang mungkin adalah pemilik ruangan ini. "Jika mau menjadi pahlawan wanita cantik, maka sebaiknya kau mundur. Jika kau menghalangi apa yang aku lakukan, aku tidak akan segan denganmu. Aku bisa membuatmu menderita."

"Pahlawan?" ucap sosok itu dengan suara yang begitu dalam. Begitu serak dan seolah suara itu seperti suara seseorang yang baru saja bangun tidur setelah melakukan aktifitas malam yang tidak biasa.

Bulu kudukku meremang. Aku melangkah mundur dua kali.

Aku sudah katakan, aku terlalu terbiasa dengan bahaya yang datang mendekat. Dan jika bahaya itu ada di dekatku, maka aku bisa merasakannya.

Tidak ada bahaya yang aku rasakan dari Albert karena dia sama sekali tidak mengusik ketakutanku. Tapi pria di depanku ini, pria dengan kegelapan yang menyelimutinya ini, aku bisa merasakan ledakan bahayanya. Aku bisa merasakan getar tidak nyaman di tubuhku. Dan aku tahu, kalau bahaya yang dia ciptakan sama sekali tidak mudah untuk dilawan.

Alarm di kepalaku mengatakan kalau aku harus melarikan diri. Aku harus pergi menyelamatkan diri karena jika terlambat, maka segalanya tidak akan lagi menjadi mudah.

"Aku tidak suka menjadi pahlawan. Jadi kau bisa mengambilnya untuk dirimu sendiri."

"Apa maksudmu?" Albert tampak kebingungan.

"Kau bisa menjadi pahlawan untuk dirimu sendiri. Karena malam ini, aku berniat membunuhmu. Oh, tapi bukankah pahwalan tidak selamanya menang?" tanya pria itu dengan geli. Nadanya ringan tapi aura yang dia pancarkan begitu kuat sampai terasa menyesakkan.

"Kita harus pergi," ucapku tanpa sadar.

Albert memandang ke belakang. Menatapku. "Kau takut padanya?"

"Kau tidak?" tanyaku. Jelas kutemukan kalau Albert sama sekali tidak bodoh. Kekejaman yang dipancarkan sosok itu begitu menakutkan dan tidak hanya aku yang merasakannya. Albert sebagai pria juga jelas memiliki getar pada kakinya saat berhadapan dengan pria itu. Dan dia mengatakan sekarang soal ketakutan? Dia bisa menipu dirinya sendiri, tapi tidak denganku. Aku bisa mencium aroma getar pada suaranya.

"Tidak. Aku akan melawannya. Kau tunggu saja di sini dan aku akan—" Suara Albert tenggelam. Sesuatu di lempar ke arahnya dan kemudian menghantam batok kepalanya dengan keras.

Albert jatuh dengan menyedihkan ke lantai. Darah merembes di kepalanya dan dia menggapai ke arahku, meminta bantuanku. Aku mengabaikannya dan berbalik. Aku melarikan diri tanpa sekali pun menatap ke belakang.

Crazy Control (SAB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang