Tiba di luar, aku masih berlari dan menabrak Anne yang baru saja keluar dari ruangan. Dia menahanku dan mencari keberadaan Albert. Tapi aku dengan kasar mendorongnya. Adrenalinku sepertinya terpancing oleh ketakutan, membuat aku memiliki kekuataan tambahan untuk menghantam punggungnya ke dinding.
"Kau menjualku?" tanya pada Anne yang sama sekali tidak terkejut.
"Albert mengatakannya?"
"Kenapa? Apa yang aku lakukan padamu sampai kau melakukan ini padaku?" getar pada bibirku bukan diciptakan oleh pengkhianatan melainkan aura menyeramkan pria itu masih menyelimuti kewarasanku.
"Karena kau tidak melakukan apa pun."
"Apa?"
"Kau tidak melakukan apa pun tapi kau mendapatkan segalanya. Tidakkah menurutmu itu berlebihan?"
"Aku ... aku ...."
"Kau hanya anak panti asuhan yang tidak disenangi oleh siapa pun. Kau bahkan tidak memiliki keluarga yang menyokongmu. Bahkan teman saja hanya ada aku. Lantas kenapa jalanmu selalu mulus dan baik? Kau seperti memiliki seseorang untuk melindungimu. Bukankah kau tahu kalau kau memang dilindungi oleh seseorang?"
"Apa yang kau katakan? Kau tidak waras!" Aku berbalik hendak meninggalkannya.
Dia menahanku dan menarik aku kembali ke depannya. "Di mana Albert? Aku tidak akan melepaskanmu kalau kau tidak mengatakan di mana Albert."
"Dia ada di ruangan entah di mana. Aku meninggalkannya. Dia bicara dengan seseorang. Kau bisa mencarinya sendiri." Aku mendorong Anne dan berlari pergi meninggalkannya dengan wajah pucat ketakutan.
Anne hanya menatap tidak mengejar. Dia sepertinya cukup dekat dengan Albert sampai berwajah begitu panik seperti itu.
Keluar dari bar itu, aku memanggil taksi dan segera menyebut alamat unitku. Masuk ke taksi dengan perasaan kalut, aku bahkan tidak sudi menatap lagi ke belakang. Entah Albert mati atau tidak, aku tidak dapat memastikannya. Melihat darah yang keluar begitu banyak, Albert jelas akan kehabisan darah kalau sampai tidak mendapatkan pertolongan segera.
Jika Anne menemukannya segera, mungkin Albert masih akan bisa diselematkan. Yang menjadi pertanyaanku, apakah pria itu akan membiarkan Anne hidup.
Aku tidak tahu masih ada di sisa kasih sayang di dalam diriku untuk pelacur sialan yang menjualku itu. Tapi aku jelas tidak bahagia membayangkan dia mati dengan cepat. Mengingat apa yang dia lakukan padaku, aku ingin dia mati dengan perlahan dan menyakitkan. Tapi lebih dari itu, aku ingin dia hidup sampai waktu kematian itu sendiri datang secara alami padanya.
Menggelengkan kepala, aku tidak mau memikirkan. Saat ini yang harus aku lakukan adalah memikirkan diriku sendiri dan keselamatanku.
Ketakutan yang ditimbulkan pria itu dalam sanubariku sanggup mengubah ketegaranku menjadi serapuh pasir di pantai. Aku tidak tahu kalau akan ada yang menggali begitu banyak kewarasanku hanya karena sebuah suara dan kegelapan. Pria itu memiliki sesuatu yang lain di dalam suaranya saat dia bicara, seolah apa pun yang dia katakan, kau akan terhipnotis dan mengikutinya. Itu menakutkan bahkan hanya dengan mendengar tanpa melihat seperti apa rupanya.
Aku sudah membayangkan kalau dia pria mengerikan dengan bekas luka di wajahnya. Mungkin sosok yang memiliki rambut berantakan tanpa ada keindahan sama sekali. Dengan satu mata mengenakan topeng kulit untuk menutup buta matanya.
Juga satu tangan yang memakai tangan besi karena dia kehilangan tangan itu entah di pertarungannya yang mana. Juga ada lubang di dadanya yang mengerikan, yang jika kau menengok ke dalamnya, kau akan melihat apa yang ada di belakangnya.
"TIDAK!"
Aku terperanjat bangun. Rasa dingin ada di sekujur tubuhku, memberikan sensasi tidak menyenangkan padaku saat aku mengedarkan pandangan. Aku pikir masih berada di ruangan di mana Albert membawaku. Tapi melihat sekitar, aku ada di apartemenku.
Mendesah dan mengusap wajah, aku ingat kalau tadi malam aku memang kembali dengan selamat. Tidak ada masalah sama sekali. Aku masuk ke unitku dan langsung merebahkan tubuhku ke ranjang. Dalam ketakutan yang mengerikan, dengan tekanan yang kuat, aku sanggup mendapati lelapku dengan sempurna. Meski tentu saja aku harus menerima konsekuensinya mendapatkan mimpi buruk. Tapi setidaknya pagi ini aku lebih baik.
Meraih mantel tidur untuk mengganti pakaian yang semalam tidak sempat aku ganti, aku kemudian turun dari ranjang. Bergerak ke arah dapur lalu membuatkan minuman untuk diriku sendiri. Aku menambahkan sedikit madu agar lidahku lebih baik.
Mencicipinya sedikit, suara ketukan pintu segera menahan tanganku. Detak jantungku menguat, bayangan kalau pria mengerikan dalam mimpiku hadir dibalik pintu itu membuatku berdiri tegak di dapur. Tidak berniat membuka pintu untuk siapa pun yang datang. Aku memegang gelas dengan lebih erat.
Beberapa ketukan terus terdengar tanpa penyerahan. Dengan penuh kegelisahan, aku mencubit lenganku sendiri. Berharap kalau ini mimpi lain. Tapi rasa sakit menyengat membuat aku mengaduh. Tampaknya bukan mimpi.
Perlahan aku mendekat, mendengarkan seksama ke arah luar. Bodoh karena aku tidak memiliki lubang pengintip di pintuku. Aku tidak membutuhkannya. Tidak pernah ada masalah dengan unitku jadi aku tidak pernah memasang lubang kecil itu. Sekarang aku menyesalinya.
Suara ketukan kembali terdengar membuat aku menjauhkan diri dari pintu. Aku sudah akan berlari masuk ke kamar dan mengurung diri di sana.
Tapi suara yang aku dengar selanjutnya menahan langkahku. "Nona Davidson, anda di dalam?"
Suara itu terdengar normal. Bukan suara serak pria mengerikan itu tentunya. Pria mengerikan itu memiliki suara yang tidak akan mudah untuk melupakannya. Bahkan meski pria itu mengubah nada dan intonasinya, aku masih dapat mengenalinya dengan mudah.
"Nona Davidson, kami dari pihak kepolisian. Anda sungguh ada di dalam?"
Wajahku dialiri air hangat mendengarnya. Aku meraih gagang pintu dan segera membuka pintu itu dengan lebar. Menemukan dua pria berdiri di depanku dengan agak terkejut. Mungkin karena aku membuka pintu dengan cepat.
"Polisi?" tanyaku dengan penuh harap.
"Nona Davidson?"
"Albert baik-baik saja?" kutanya lagi mereka.
Keduanya saling menatap. Lalu salah satunya, yang tampaknya menjadi pemimpin di antara mereka memberikan tanda pengenalnya padaku. "Anda harus ikut kami ke kantor polisi, untuk memberikan keterangan."
"Kantor polisi?"
Pria itu mengulurkan tangan. "Silahkan, Nona."
Tidak ada ruang bagiku berdebat atau memiliki keinginan sendiri. Mereka berdua jelas datang untuk menjemputku dan tidak mau mendengar penolakan dariku. Penolakan hanya akan mendatangkan masalah baru bagiku. Jadi aku mengangguk.
"Bisa aku mengganti pakaianku sebentar? Tidak nyaman mengenakan pakaian semacam ini ke kantor polisi."
Itu mantel tidur yang agak tipis.
Pria itu berdehem dan mengangguk kemudian. "Tapi kami boleh masuk?"
Aku memandang mereka. "Kalian sungguh polisi?"
Keduanya saling menatap dengan aneh.
"Maaf, aku terlalu banyak menonton drama televisi di mana ada orang berpura-pura menjadi polisi."
***
Ready pdf : 35k
Tamat di karyakarsa
Tungguin e-booknya yakk
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Control (SAB)
RomanceKaiya Davidson mengenali monster seperti apa Jaxen Dillard sejak pandangan pertama. Dan dia begitu menghindari menarik perhatian pria itu. Membuat Jaxen tertarik padamu hanya akan mendatangkan neraka dalam hidupmu. Tapi saat bahaya mendatangi Kaiya...