-CTY'09

3.3K 262 236
                                    

Tinggalkan komentar di setiap paragraf🖤

=CTY'09=

Ashfan tidak tahu apa yang benar-benar membuatnya bertahan sampai sejauh ini. Ia bisa saja berhenti sejak lama, tapi kenyataannya, Ashfan lebih memilih menunggu dari pada belajar menerima orang baru. Lagi pula, seorang Hafshah Zahira Khaireen memang layak diperjuangkan secara ugal-ugalan.

Masih membekas di dalam ingatannya, bagaimana Khai yang baru akan beranjak remaja saat itu, menangis tersedu dalam pelukan Vamela. Kala itu, Ashfan tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya ditinggalkan oleh sosok ibu untuk selama-lamanya.

"Mas Ashfan, pulang duluan sama Papa, ya. Mama mau temani Khai dulu."

"Ashfan pengen peluk Khai deh, Ma."

"Khai udah baligh, Mas."

Percakapan singkat itu masih membekas diingatan Ashfan. Karena percakapan tersebut merupakan alasan yang membuatnya tidak berani lagi secara sengaja menemui Khai. Sebab sejak saat itu, Ashfan menyadari satu hal, bahwa rasa simpati yang tumbuh di hatinya mulai berkembang menjadi sebuah perasaan yang tidak wajar.

Ashfan pikir sebelumnya, ketertarikan yang ia rasakan merupakan bentuk kekaguman pada prestasi dan paras jelita yang dimiliki Khai. Seperti sebuah perasaan bangga karena memiliki seorang adik yang luar biasa.

Sayangnya, saat itu Ashfan sudah cukup dewasa untuk memahami bahwa perasaannya tidak sesederhana yang ia kira.

Dua tahun Ashfan berusaha untuk melupakan perasaan yang ia milik pada gadis kecil itu. Dan selama itu juga ia gagal dalam setiap percobaan. Pikirannya justru makin dipenuhi oleh seorang Khaireen. Sampai pada akhirnya, Ashfan memberanikan diri untuk jujur pada Vamela. Ibunya itu terkejut, tentu saja. Khai bahkan baru menduduki bangku SMP ketika putranya yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi tersebut membuat pengakuan demikian.

"Mas, Mama bisa meramal masa depan, loh." itu adalah tanggapan Vamela atas pengakuan anaknya. Ashfan tentu saja mengerutkan dahinya bingung.

"Maksudnya, Ma?"

"Iya, Mama bisa meramal masa depannya Khai." perempuan cantik itu tersenyum penuh makna. "Di masa depan, Khai akan menjadi pengacara hebat yang sukses dan berpendidikan tinggi. Kalau Mama lihat-lihat juga, Khai itu punya rasa kemanusiaan yang tinggi. Kayaknya di masa depan, dia bakal membangun yayasan sosial untuk membantu banyak orang deh."

Ashfan bukan anak kecil yang dengan mudahnya percaya bahwa Vamela bisa meramal masa depan. Tapi, ia cukup dewasa untuk menangkap maksud tersirat dari perkataan ibunya.

Itu semua ..., adalah cita-cita Khai. Dan dengan kemampuan serta kegigihan yang dimiliki gadis itu, Vamela optimis bahwa putri dari sahabatnya tersebut akan berhasil mewujudkan seluruh impiannya.

"Kira-kira ya Mas, perempuan sesukses Khai di masa depan, cocoknya dengan laki-laki seperti apa? Setara itu penting 'kan, Mas? Veronika juga dulu pernah bilang, dia selalu berdoa semoga putrinya dapet jodoh yang bisa menjaga dan melindunginya. Berarti, laki-laki itu harus punya power 'kan, Mas? Nanti Khai bakal jadi pengacara hebat kayak mama-nya, loh. Dia harus punya suami yang mampu melindunginya. Iya 'kan?"

Dan ya, kalimat Vamela itulah yang membawa Ashfan sampai di titik ini. Kalimat ajaib ibunya itu yang membuat Ashfan mati-matian menjadi sosok seperti sekarang. Ia yang dulunya kuliah hanya untuk memenuhi perintah Reindra, berubah serius dalam menjalaninya hanya agar ia bisa mengejar kesetaraan dan kelayakan berada di sisi seorang Khaireen.

Berterimakasihlah pada Vamela yang selalu mengabarkan setiap pencapaian Khai, membuat Ashfan termotivasi untuk menjadi sosok yang jauh lebih baik di setiap harinya.

Close To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang