-CTY'17

3.9K 337 109
                                    

=CTY'17=

Dulu, Khai tidak pernah memimpikan sebuah pernikahan. Bertemu dengan laki-laki tepat dan berumah tangga tidak pernah masuk dalam target hidupnya bahkan hingga ia berusia 29 tahun.

Marriage is scary.

Itu yang selalu menghantui Khai setelah luka yang ditorehkan Zaidan atas kehancuran rumah tangganya dengan Veronika.

Meninggalnya sang mama adalah masa-masa paling terpuruk yang pernah Khai alami selama 29 tahun ia hidup di dunia. Satu tahun ia menghabiskan separuh waktunya untuk bolak-balik terapis. Galuh berupaya menyembuhkan luka mental yang menyerang cucunya meski---kala itu---ia pun tengah sama terpuruknya setelah kehilangan sang anak semata wayang.

Katakanlah Khai takut menikah, sebab memang begitu adanya. Ia takut tak bisa menjadi istri yang baik, sebab semasa hidupnya, ia tak pernah melihat bagaimana ibunya berperan sebagai seorang istri. Zaidan menceraikan Veronika bahkan di saat Khai baru pandai merangkak.

Khai juga tahu bahwa selama ini, nafkah yang diberikan padanya atas nama Zaidan merupakan uang milik Kyai Ibrahim---sang kakek.

Khai tidak membenci Zaidan. Veronika tidak pernah mengajarinya untuk membenci sang ayah, meski pria itu telah dengan tega menelantarkan anak serta istrinya.

Namun, luka itu masih membekas. Tidak bisa hilang sekuat apapun Khai mengobatinya.

"Khai, apakah menurut Khai, ayah pantas untuk dimaafkan?"

Bola mata Khai kecil kala itu menatap terapisnya dengan tatapan kosong. Kemudian, kepalanya bergerak pelan, ia menggeleng. "Ayah nyakitin aku dan Mama, Mbak. Dia bahkan tidak meminta maaf, kenapa aku harus memberinya pengampunan?"

"Khai, Mbak tau kamu anak yang pintar. Pengetahuanmu luas sekali. Khai katanya suka membaca-baca banyak buku, ya?" Khai mengangguk. "Buku tentang psikologis juga?" gadis berusia 10 tahun itu lagi-lagi menganggukkan kepalanya.

Sang terapis tersenyum. "Khai pernah tidak, menemukan pepatah ini di salah satu buku yang Khai baca? Ada pepatah Tionghoa yang mengatakan, bahwa memelihara kebencian itu seperti meminum racun tetapi mengharapkan orang lain yang meninggal."

Khai tampak menerawang untuk sesaat sebelum kemudian menggelengkan kepala, pertanda kalau ia belum pernah menemukan pepatah itu dari buku-buku yang ia baca.

"Oh, belum ya. It's okay. Tapi, Khai mengerti tidak, maksud dari pepatah itu apa?" terapis Khai yang bernama Maya tersebut kembali bertanya.

"Memelihara kebencian sama dengan meminum racun tapi berharap orang lain yang meninggal. Seperti kita yang menyimpan amarah, benci, dan dendam tapi berharap orang lain yang terluka. Padahal, perasaan negatif itu kenyataannya bak racun yang kita minum dan artinya hanya akan melukai diri kita sendiri."

Mbak Maya tampak tersenyum puas. Pasiennya ini memang cerdas, ia sudah mengetahuinya sejak awal pertemuan mereka.

"Kurang lebih seperti itu. Jadi, Khai faham 'kan, kalau menyimpan kebencian itu sama dengan meminum racun yang tentu akan melukai diri kita sendiri? Orang lain tidak akan terluka atas kebencian yang kita rasakan, Khai. Justru kitalah yang akan tenggelam dalam dampak negatifnya." suara Mbak Maya lembut menenangkan. Memudahkan Khai untuk mencernanya.

"Jadi, aku harus memaafkan Abi? Tapi, Abi bersalah, Mbak. Mama tidak pernah mengajari untuk membenci, tapi aku udah dewasa, udah faham sama luka batin yang aku rasain."

Mbak Maya tersenyum penuh perhatian. "Khai, memaafkan bukan berarti membenarkan apa yang sudah ayah kamu perbuat padamu dan ibumu. Memaafkan bukan berarti kamu harus menerima ayahmu dengan tangan terbuka seolah tak terjadi apa-apa. Tapi, memaafkan berarti kamu melangkah dari masa lalu, melepaskan diri cengkraman luka di masa lalu. Tidak akan mudah, Mbak tau. Mbak juga tidak meminta kamu untuk terburu-buru. Lakukan secara perlahan, satu-persatu ampuni luka-luka itu."

Close To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang