Cerita lucu, Nek Flora

635 51 1
                                    

Di sebuah desa kecil yang tenang, hidup seorang wanita paruh baya bernama Flora. Setiap sore, ia akan duduk di bawah pohon besar di halaman rumahnya, dikelilingi oleh sekelompok anak-anak kecil. Mereka selalu datang berkerumun dengan tawa dan sorak gembira, menantikan cerita-cerita lucu yang akan Flora bagikan. Dari cerita hewan-hewan yang bisa berbicara hingga petualangan imajinatif di negeri ajaib, Flora selalu mampu membuat anak-anak itu terpingkal-pingkal.

Hari itu, seperti biasa, Flora duduk di kursinya sambil tersenyum hangat melihat anak-anak berlarian mendekatinya. Mereka duduk di tanah, bersandar pada akar pohon yang kuat, dan menatap Flora dengan antusias.

“Nek Flora, ceritain dong! Ceritain yang lucu lagi!” teriak salah satu anak dengan wajah penuh semangat.

Flora terkekeh lembut, menganggukkan kepala, lalu mulai bercerita tentang seekor kucing ajaib yang bisa melompati bulan. Anak-anak itu tertawa terbahak-bahak mendengar bagaimana kucing itu tersangkut di awan dan terjatuh ke ladang jagung. Setiap cerita selalu disambut dengan tawa dan kegembiraan.

Namun, di tengah-tengah tawa yang riuh, salah satu anak, seorang gadis kecil bernama Dinda, mengangkat tangan dengan ragu. Wajahnya serius, berbeda dari biasanya.

“Nek, aku penasaran deh,” katanya, menghentikan tawa teman-temannya. “Nenek gak pernah cerita soal hidup nenek sama suami nenek? Coba dong cerita itu.”

Sekelilingnya langsung sunyi. Anak-anak lain menatap Flora dengan mata penuh harap, berharap cerita baru yang mungkin lebih dalam. Namun, Flora terdiam. Senyum di wajahnya memudar perlahan, dan tangannya yang biasa bergerak-gerak penuh semangat saat bercerita kini diam di pangkuannya. Sorot matanya tiba-tiba tampak lebih redup, seperti tersesat dalam pikirannya sendiri.

Dinda menundukkan kepala, menyadari bahwa pertanyaannya mungkin telah melewati batas. Ia membuka mulut untuk meminta maaf, namun tak ada kata yang terucap. Suasana menjadi canggung dan senyap.

Flora menarik napas panjang, matanya berkaca-kaca saat ia menatap jauh ke arah cakrawala, seakan sedang mengingat sesuatu yang sudah lama berlalu. "Suamiku..." Flora akhirnya berbicara, suaranya lirih, hampir seperti bisikan. "Dia... dia adalah bagian dari cerita yang tak pernah kubagi."

Anak-anak mendengarkan dengan seksama, rasa ingin tahu semakin memuncak. Tapi Flora tak melanjutkan. Ia hanya tersenyum kecil, kali ini dengan rasa sedih yang tak pernah mereka lihat sebelumnya.

“Nak,” Flora akhirnya berkata dengan suara lembut, “tidak semua cerita lucu, dan tidak semua cerita perlu diceritakan.”

Anak-anak saling berpandangan, bingung, tapi mereka mengangguk dengan patuh. Mereka tahu bahwa apa pun yang ada di balik senyum Flora hari ini, adalah sesuatu yang lebih dalam dari sekadar cerita untuk menghibur mereka.

Flora mengusap air mata yang hampir jatuh, lalu dengan lembut berkata, “Bagaimana kalau kita lanjutkan cerita kucing ajaib tadi? Kalian pasti penasaran bagaimana dia akhirnya keluar dari ladang jagung, kan?”

Anak-anak tersenyum lagi, meski suasana masih terasa agak berat. Mereka setuju untuk melanjutkan cerita, dan Flora kembali berbicara dengan nada ceria, mencoba mengalihkan perhatian mereka. Namun, di sudut hatinya, ada kisah yang tak akan pernah keluar dari bibirnya, kisah tentang cinta dan kehilangan yang hanya ia simpan untuk dirinya sendiri.

Sore itu, sebelum anak-anak pulang ke rumah masing-masing, Flora melihat wajah Dinda, si gadis kecil yang tadi bertanya, masih tampak penasaran. Wajahnya belum menunjukkan kepuasan, seolah ada yang ingin ia ketahui lebih jauh. Flora sempat ragu. Haruskah ia menceritakan sesuatu yang selama ini ia simpan sendiri? Sesuatu yang tak pernah ia bagikan kepada siapa pun, bahkan kepada orang-orang dewasa di desanya?

FreFloShoot (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang