Kamu selalu bercanda seperti ini. Meski jarak usia kita hanya empat tahun, perbedaan tinggi 14 cm membuatmu terus menganggapku kecil dan tidak mampu melakukan apa-apa sesuai keinginanku.
Namun, aku menyukai hal itu. Seperti ketika kamu tersenyum setiap kali melihatku merengek.
“Love, sayangku. Bukan begitu cara memakai bajunya. Seharusnya mulai dari kepala dulu,” ucapmu dengan lembut. Aku merengek meminta bantuanmu karena tidak bisa memasang bajuku sendiri. Lagipula, siapa yang merancang pakaian aneh ini? Lihatlah diriku sekarang, tampak begitu payah. Aku memukul pundak P’Milk saat menyadari ia menertawakan wajah murungku. Namun, dia tidak marah. Dia hanya terkekeh pelan sambil mengalihkan pandangannya ke arah lain. Aku tahu, aku terlihat lucu dan menggemaskan, tapi tidak perlu sampai salah tingkah begitu.
Aku juga menyukai saat P’Milk mendengarkan ceritaku dengan saksama.
“Kamu tahu, kemarin kekasihku lupa memberitahuku kalau dia sedang di luar kota. Kami hampir saja bertengkar, tapi—” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, P’Milk sudah mengusap sudut bibirku. Ia meminta maaf sambil menjelaskan bahwa ada noda saus burger di sana. Setelah itu, dia kembali menatapku sambil berkata bahwa aku harus melanjutkan ceritaku yang tadi terpotong.
Aku hampir lupa apa yang sedang aku ceritakan hingga dia dengan tenang melanjutkan, “Kalian hampir bertengkar, lalu bagaimana selanjutnya, Love?”
Dia memang pendengar terbaikku.
Flora menutup ponselnya ketika mendengar suara pintu tertutup dengan kasar. Kekasihnya sudah pulang? Padahal Flora sedang asyik membaca fanfik MilkLove di aplikasi kesayangannya. Perhatiannya kini beralih sepenuhnya kepada sang kekasih yang terlihat kesal.
“Ada apa? Kamu kelihatan marah sekali. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanya Flora dengan tenang. Tidak ada sedikit pun rasa khawatir di wajahnya. Gadis itu tahu betul, meski kekasihnya terlihat kesal, dia tidak akan melukai Flora.
Freya, kekasihnya, adalah seorang yang lembut, terutama kepada Flora. Tidak mungkin dia akan berbuat kasar. Flora bangkit dari sofa dan berjalan menuju dapur untuk menuangkan segelas air putih, lalu memberikannya kepada Freya.
“Jawab aku, sayang. Kamu kenapa? Bukankah kita sudah berjanji untuk selalu saling bercerita?” Flora menatap Freya lekat, mencoba menenangkan. Namun alih-alih menjawab langsung, Freya justru menggenggam tangan Flora dan membawanya ke bibirnya untuk dikecup lembut.
“Bagaimana kalau kita pindah saja, Flo?” ujar Freya tiba-tiba, suaranya terdengar serius.
Flora mengangkat alis kirinya, bingung. “Kemana, Freya?”
Beberapa menit berlalu dalam keheningan sebelum Freya akhirnya menjawab. “Ke Thailand. Mau?”
Flora tertawa kecil, kemudian memukul pelan pundak Freya. “Aku tahu aku penggemar GL, tapi aku nggak segila itu sampai mau pindah ke sana hanya karena itu,” balas Flora dengan nada bercanda.
Freya menggeleng sambil mendesah. “Aku serius, Flo. Ini bukan tentang kekasih khayalanmu itu.” Ia menarik napas dalam sebelum melanjutkan, “Aku mau menikah denganmu. Kita perlu ke Thailand untuk meresmikan hubungan kita.”
Ucapan itu membuat Flora terkejut. Tanpa berpikir panjang, ia menangkup wajah Freya dengan kedua tangannya. Wajahnya tampak marah.
“Sayang, kamu tahu hubungan kita adalah hubungan terlarang, bukan? Kamu gila? Kita tidak pernah sepakat untuk menikah! Aku sayang padamu, tapi aku tidak mau mengecewakan kedua orang tuaku!” Flora menggeleng, nadanya tegas. “Ingat, Fre. Hubungan kita ini rahasia. Tapi jangan sampai kita melangkah sejauh itu!”
Freya menunduk, menahan diri untuk tidak membalas. Dia tahu ucapan Flora bukan karena tidak mencintainya, melainkan karena ketakutan yang selama ini membayangi hubungan mereka. Namun, di dalam hatinya, Freya masih bertekad untuk meyakinkan Flora. Baginya, cinta mereka pantas diperjuangkan.
Sejak percakapan beberapa hari lalu, Freya tampak menjaga jarak dari Flora. Tidak sulit bagi Flora untuk menyadari bahwa kekasihnya sedang kecewa. Namun, Flora merasa harus mempertahankan egonya kali ini. Apa yang mereka jalani selama ini jelas bukan sesuatu yang bisa diterima masyarakat. Siapa yang akan gila merestui hubungan yang dianggap terlarang dan menjijikkan ini?
Ya, hubungan sesama jenis memang dianggap hina oleh banyak orang. Tetapi apa yang bisa dilakukan? Mereka sudah terperangkap dalam cinta ini. Tidak mudah keluar dari jalan yang telah mereka pilih.
Jika ada yang berkata, “Ya sudah, tinggal putus saja,” seolah itu solusi yang sederhana, tentu mereka salah besar. Ketika seseorang sudah memilih jalan ini, mencari jalan keluar bukanlah perkara mudah. Ada terlalu banyak rintangan, terlalu banyak hal yang mengikat, terlalu banyak rasa yang sulit dilepaskan.
Flora merasa mual membayangkan tatapan hina dari orang-orang jika hubungan mereka terungkap. Lebih dari itu, bayangan kebencian dan kekecewaan orang tuanya menghantui pikirannya. Sial! Jika hubungan ini diketahui dan mencoreng nama baik keluarganya, Flora merasa lebih baik mati saja.
Namun bukan hanya itu yang membuatnya sesak. Membayangkan harus meninggalkan Freya juga menjadi mimpi buruk baginya. Dua tahun bersama bukan waktu yang singkat. Terlalu banyak kenangan, terlalu banyak cinta yang terjalin di antara mereka. Bagaimana mungkin Flora melepaskan semuanya? Cinta ini telah mengakar dalam hatinya, meski dia tahu cinta ini tidak akan pernah dianggap benar oleh dunia.
Selama beberapa hari mereka saling membisu, akhirnya Freya memilih untuk mengalah.
Freya bukanlah tipe orang yang tahan berjauhan dengan pasangannya, terutama setelah pertengkaran. Dalam hubungan mereka, Freya selalu menjadi pihak yang mengambil langkah pertama untuk memperbaiki keadaan.
“Udahan, yuk, marahannya. Kayaknya aku nggak tahan kalau kita kayak gini terus,” ujar Freya, suaranya penuh harapan.
Flora melirik sekilas, lalu mendesah pelan. “Fre, aku cuma mau bilang... mungkin ini saatnya kita kembali ke jalan masing-masing.”
Ucapan Flora membuat Freya terdiam. Beberapa detik berlalu dalam keheningan sebelum akhirnya dia meraih kedua pergelangan tangan Flora. “Maksud kamu apa?” tanyanya, meskipun dia tahu jawabannya.
Flora menarik tangannya dengan cepat. “Kamu tahu apa maksudku, Fre. Jangan pura-pura bodoh!” Nada suaranya meninggi, menahan amarah sekaligus kepedihan.
Freya merasakan dunianya seolah hancur mendengar kata-kata Flora. Namun dia tetap berdiri di tempatnya, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.
“Sekarang kamu sadar, kan? Sejak awal, inilah yang akan terjadi!” Bentakan Flora menggema di ruangan itu, membuat Freya akhirnya berdiri dengan tubuh gemetar.
Freya menatap Flora dengan mata yang mulai memerah. “Aku benci mengakui kalau kamu benar kali ini, Flora. Ya, aku bodoh. Aku minta maaf. Beda agama saja sulit untuk bersatu, apalagi kita yang segender,” ucapnya pelan. Suaranya sarat dengan rasa sakit yang sulit dijelaskan.
Dengan langkah berat, Freya mulai menjauh. Namun, sebelum benar-benar pergi, dia menahan pintu yang hampir tertutup. Dia menoleh sejenak, menatap Flora yang hanya berdiri diam di tempatnya.
“Terima kasih karena sudah mau menerima aku dalam hidupmu selama ini, Flora. Aku sayang kamu, selalu. Dan sekarang, bahagialah,” ucapnya lembut sebelum menutup pintu di depannya.
Flora jatuh terduduk di lantai, tubuhnya bergetar karena tangis yang tak bisa dia tahan lagi. Air matanya mengalir deras, membasahi wajah yang kini terlihat begitu kacau. Ruangan yang biasanya terasa hangat kini terasa kosong, meninggalkan Flora sendirian dalam kepedihan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
END

KAMU SEDANG MEMBACA
FreFloShoot (Hiatus)
Short Story[ Up Random ] • Mature • Jangan berdebat tentang siapa yang Dom dan Siapa yang Sub (Tak cokot koe)