VIII. Tanggal yang ditentukan

131 13 35
                                    

14 September, entah kenapa tanggal ini tidak pernah menjadi hari yang bagus untuk Luna sejak tahun 2014. Kematian Jay, Ibunya masuk rumah sakit, dan tanggal-tanggal kematian Jay yang dia tulis selama berprofesi sebagai penulis.

Mungkin Jay sekarang sedang menyiapkan kue ulang tahun untuk ulang tahunnya yang ke lima belas di sekolah. Luna tahu Jay akan memasukkan sebuah jepit kupu-kupu dan juga sepucuk surat di dalam sebuah kotak warna merah muda. Beberapa hal lain yang sebenarnya dapat memicu sakit Jay sudah dihindari seperti memberinya kucing secara langsung atau membawanya naik perahu dan tenggelam, Luna selalu mengingatkan Jay membawa obat dan sejumlah kegiatan yang mencegah Jay sakit telah diantisipasi.

Entah bagaimana meski dengan cara yang berbeda, menghindari hal yang sama selalu membuat Jay lara.

"Saya mau bertemu dengan ...," ucapan Luna berhenti saat sudah memasuki lobi gedung Betterfly Production dan menghadap resepsionis berpakaian rapi. Siapa yang ingin dia temui? CEO? Editor? Atau siapa yang harus dia mintai pertanggungjawaban ini?

***

Jay terlihat gelisah karena Luna tidak masuk sekolah tanpa alasan yang jelas. Apakah ada kaitannya dengan Jullie? Pelajaran matematika di depan tidak masuk ke otaknya sama sekali.

"Pak?" Jay menginterupsi.

"Ya, Jay? Silakan istirahat di UKS, panggil Ibu kamu kalau sakitnya belum reda." Jay mengangguk lalu keluar kelas, saking seringnya akhir-akhir ini dia jatuh dan sakit membuat guru terbiasa memaklumi Jay.

Tujuan pertama Jay adalah kelas Jullie, memastikan anak itu sedang belajar dengan benar atau membolos di suatu tempat sambil menyandra Luna seperti kemarin.

Jay berhenti di tengah jalan karena kelas sebelas berada di bangunan yang cukup jauh dan berada di lantai dua. Pegangannya mengerat pada pembatas tangga, menghirup napas dengan mulut pucatnya lalu lanjut ke arah kelas Jullie berada.

"Jullie mana?" tanya Jay pada kelas yang masih dihuni jam kosong.

Tidak ada yang tahu di mana Jullie bahkan kedua teman yang lebih cocok disebut dayang. Akhirnya Jay turun lagi mencari tahu di mana keberadaan Jullie.
Jullie tidak berhalusinasi soal kedekatan mereka sebelum Luna menjadi pacar Jay, sehingga pemuda pengidap penyakit langka tersebut tahu persis di mana Jullie jika tidak berada di kelas.

Bekas pabrik tertinggal kemarin.

"Lo sembunyiin di mana Luna?" tanya Jay, benar saja dia menemukan Jullie merokok gedung ini.
Jullie meniup asap rokok yang terlanjur masuk mulut, Jay sedikit mundur karena sebelum kemari pun dadanya sudah sesak.

Gadis yang menggunakan topi berwarna putih hijau itu berdiri, membuang putung rokoknya ke arah sembarang mengingat laki-laki yang gagal dia dapatkan tersebut terlalu ringkih untuk menghirup asap rokoknya.

"Hidup gue emangnya selalu tentang Luna?" tanya Jullie menantang.

"Jangan maksa gue bertindak kasar! Di mana Luna?" tanya Jay, jika Luna bisa dihubungi mungkin dia tidak akan semarah ini.

"Lo emang selalu kasar sama gue! Gila lo!" Mendengar bentakan itu Jay menarik Jullie masuk ke dalam gedung tua itu secara paksa. Jullie berkata tidak tahu sambil terus memberontak. Namun, Jay tidak percaya.

***

Luna duduk di sebuah ruangan, ruang tunggu kantor ini seperti sebuah perpustakaan raksasa. Rak-rak putih di sisi kanan dan kiri seperti dinding yang membatasi koridor dan ruang tunggu. Diisi dengan buku bermacam-macam warna, menyita perhatian Luna.

Rikala Semana, buku yang terbit tahun 2024. Ia tahu karena sempat membelinya.

"Bahkan buku tahun dua ribu tiga puluh ada di sini," gumam Luna sembari mengambil salah satu buku, saat tahun terbit diteliti banyak sekali buku-buku kosong yang berasal dari masa depan.

Itu artinya, penulis-penulis lain pun tengah berkelana di bukunya.

"Luna Amanda?" Sosok berpakaian rapi dengan nada warna hangat tengah menginterupsi. Luna mengembalikan buku tersebut lantas mendekat ke arah Pimpinan Redaksi yang tengah menunggunya untuk duduk berhadapan dengan Luna.

Luna duduk di arah yang berlawanan. Wajah gadis dewasa itu tersenyum, indah dan hangat sejenak Luna terpesona.

"Kamu mau nanya kenapa kamu di sini? Mau berterima kasih? Sama-sama anak muda," ucapnya. Seakan sudah cukup mengerti Luna yang tidak tahu harus memulai dari mana.

"Terima kasih?" tanya Luna. Baginya memang menyenangkan kembali remaja dan berpacaran dengan Jayandra, kontras dengan kehidupan pahit yang dia alami di masa depan. Baiklah, Luna akui dia harus berterima kasih atas itu semua. Namun, datang kemari tanpa kekuatan apa-apa dan tanpa dapat mengubah apa-apa membuatnya hampir gila.

"Maksudku, kenapa aku nggak bisa ngubah apa pun? Apa akhirnya akan tetap sama?"

"Kamu penulisnya, kamu tahu betul apa yang kamu tulis, bukan?"

"Tapi Jullie? Mereka bertindak di luar tulisanku. Seharusnya bisa! Seharusnya Jay juga bisa sembuh!"

Pimpinan Redaksi menatap penulis dengan tatapan yang sangat serius. Menjelaskan bahwa Jullie diciptakan untuk membuatnya terpojok, apa pun tindakannya semua masih dalam lingkaran yang sama. Jullie masih mengikuti perannya dengan baik.

"Sedangkan peran Jay kamu ciptakan sebaik dan serapuh itu, apa pun yang dia lakukan dia tetap sakit." Pundak Luna turun, ia lemas karena jawaban dari penerbit ajaib ini justru membuatnya terguncang.

"Sebelum menulis kamu membuat outline? Perjalanan dimulai dari mana dan berakhir seperti apa. Semuanya garis yang harus kamu lalui dengan baik, Luna."

"Kenapa kamu bawa penulis ke sini? Itu jahat!" protes Luna, air matanya sudah berkumpul di pelupuk mata.

"Kamu yang ketakutan dengan akhir duka, penulis lain menikmatinya karena mereka menyiapkan ending bahagia."

***

"Udah gue bilang gue gatau Luna di mana!" Jullie melepaskan cekalan tangan Jay yang terasa sakit saat menariknya ke setiap penjuru gedung. Jullie mendesis sambil mengelus pergelangan tangannya yang merah.

Jay terbatuk-batuk, ia merasa bahwa ini efek berlari kesetanan. Namun, Jullie juga terbatuk. Asap hitam ternyata berlahan membekap ruangan.

"Sialan! Putung rokok lu, Jul bakar kardus bekas di luar!" teriak Jay berusaha membungkam jalur napasnya agar tak ada asap yang masuk.

"Gila! Ayo keluar!" Jullie berteriak kemudian menarik tangan Jay buru-buru keluar.

"Aaaaaakkk!!!" Jay jatuh di lantai yang kotor, memegang erat-erat rasa sesak yang terasa menghimpit dan diremas-remas.

Jay kehabisan napas karena asap hitam semakin menghalangi oksigen untuk Jay.

"JAY! AYO KELUAR!" Jullie menarik-narik tangan Jay. Tidak bisa, Jay hanya dapat terbatuk dan terengah. Jullie juga terbatuk, bukti bahwa akibat dari asap seburuk itu.

Jullie keluar dan mencoba memadamkan sumber asap yang dibuat.

"GILA!" Jullie tidak bisa memadamkan api dan asap hanya dengan air mineral.

Jay terlentang dengan seragam yang kotor, dadanya membusung mencari pertolongan. Mengi datang dan membuat Jay mengejang, tidak ada sama sekali oksigen yang tersisa dari sekitar sini.

*^**

🙂‍↕️blom tamat sabar, komen dulu atau gue biarin di situ aja tuh bocahnya hehe

After SundieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang