"Lun? Kamu mabuk atau demam?" tanya Jay karena sejak tadi pagi Luna tak kunjung mau melepaskan tubuh suaminya. Lucu jika Jay harus memanggil Jay sebagai suami dan Luna adalah isteri karena mereka menikah dan meminjamkan tubuh satu sama lain dengan sebuah tujuan yang saling menguntungkan.
Luna akui dia menulis cerita ini karena mengikuti zaman. Ide ceritanya pasaran, dipikirkan oleh belasan ribu penulis dan diluncurkan bersamaan. Namun, Luna akui sebagai pemeran dia sangat bahagia di situasi ini.
Jay menikahi Luna untuk keturunan dan sampai kini mereka belum juga mendapatkan hasilnya.
"Menurutmu saya harus menikah lagi?" Luna melepaskan pelukannya yang tadinya melekat bak kembar siam.
"Jay? Amit-amit ya lo ngomong begitu?" tanya Luna berwajah kusut.
"Ya sudah. Saya mau bekerja," pamit Jay.
"Ngapain kerja, sih? Udah kaya!" Lagi Luna merangkul lengan Jay, sangat tidak merelakan lelaki berkemeja biru muda itu untuk tetap tinggal. Jay mengerutkan alisnya yang runcing, tidak biasanya wanita gila kuasa seperti Luna bertindak sebagai seorang isteri yang sesungguhnya.
Informasi saja, biasanya mereka akan berada dalam satu kamar jika Luna menginformasikan masa suburnya. Satu anak laki-laki saja sudah cukup, cinta dan rumah tangga hanyalah rancangan ketamakan struktural.
"Kamu ini kenapa?" tanya Jay.
"Ssstt bisa nggak libur satu hari terus fokus saling mencintai? Siapa yang tahu kapan kita mati? Kenapa kita harus berpikir untuk tetap berkuasa di dunia?"
Jay menghela napas. Demi apa pun Luna yang seperti ini sangat membuatnya merasa bahwa mereka sangat asing. Seperti berkenalan dengan orang baru di tubuh yang lama.
***
Makan malam keluarga besar orang kaya itu selalu menjadi momen yang tidak menyenangkan bagi Jay. Dia harus menahan sakitnya karena orang-orang harus mengira bahwa wajahnya yang pucat tidak pernah berarti apa-apa.
"Ahhhk!" Meski umurnya baru menginjak dua puluh delapan, warisan penyakit jantung rahasia ini sudah dia dapatkan tepat setelah Ibunya meninggal.
Jay tidak berharap ada orang yang akan datang untuk memberinya obat atau air karena dia sering tertatih untuk mengambil obatnya sendiri. Namun kali ini ada yang menyentuh punggungnya dengan halus, memberikan segelas air dan juga tabung obatnya.
Jay didudukkan di meja makan, setelah menelan pil ia mengamati wajah cantik isterinya.
"Hari ini nggak usah ikut makan malam Kakek, ya? Kamu sakit."
"Mana bisa ngomong kaya gitu? Yang ada Ibu Tiri curiga dan cari-cari penyakitku. Karena sebelumnya aku bisa nahan sakit flue dan penyakit biasa lainnya. Nggak aku nggak mau." Jay mengeratkan pegangannya pada ujung meja, meremat benda keras itu seiring dadanya yang terasa dihimpit bersamaan dengan sensasi hampir meledak yang terasa sesak.
"Bilang aja aku yang nggak enak badan, bisa jadi hamil, 'kan?"
***
Jay kebingungan karena wanita berkelas dari keluarga kaya raya yang sombong tiada tara tiba-tiba memperlakukannya seperti seorang suami. Biasanya mereka akan berkomunikasi seperlunya atau saat menyusun rencana, gadis cantik itu terlihat lebih tenang tanpa ekspresi akan tertindas seperti yang dia kenal.
"Aku kasih tahu kamu, ya? Sebenernya kita gak kunjung punya anak itu bukan karena aku nggak becus jadi isteri. Tapi karena kamu nggak pernah fit!" Luna mendekatkan diri, membuka kancing kemeja biru yang membalut tubuh paripurna sang suami.
"Mau ngapain? Katanya nunggu fit?" Jay menepis tangan Luna.
"Ganti baju, napasmu senin kamis!"
Jay tidak ingat kapan terakhir kalinya dia dirawat. Untuk menyembunyikan fakta bahwa dia sedang sakit demi menyelamatkan sebuah ruangan di lantai teratas---ruangan CEO, bahkan Jay tidak memperkejakan siapa pun di rumah hanya Luna tempatnya berbagi fakta.
Jay selalu menahan rasa sakit yang sebenarnya bisa membunuhnya tiba-tiba, tidak memperkenankan diri untuk dirawat dan hari ini dia dimanjakan.
"Its okay, Sayang. Akan baik-baik saja setelah tidur." Luna mengambil bagian kasur yang kosong, menepuk ringan dada Jay yang terbuka.
Jay terbiasa mengesampingkan sakitnya, ia tak bisa mengedarkan pandangan dari Luna. Ia merasa asing dan canggung, tapi juga nyaman di saat yang bersamaan.
"Kamu kenapa, sih, Lun? Saya nggak bias...,"
"Shuuuuuttt!! Tadi pagi pinter panggil istriku? Sekarang saya-saya?? A-KU!"
"Kamu ini kenapa?"
"Yang kenapa-kenapa itu kamu! Kan kamu yang sakit!"
***
Di perjamuan makan malam antara keluarga yang kompak dibaptis dengan nama Christian ini tengah mencapai puncaknya, menuang anggur lalu melontarkan lelucon khas orang kaya yang garing dan tidak lucu.
Yang paling tua sebagai pemilik saham utama perusahaan yang diberi nama CHR yang berdiri sejak 1987. Mempamerkan berita bahwa Luna tengah tidak enak badan, mungkin saja hamil katanya.
"Christian Jayandra memang cucu kesayanganku, selalu menurut dan juga mendengar semua apa yang Kakek sarankan! Hahaha."
Selaku Ibu Tiri, Seline merasa kesal mendengarnya. Putri tunggalnya juga berkompeten dan penurut, tapi kalah di pertarungan saham dengan Jay hanya masalah kuno seperti gender.
"Padahal sepertinya Jay dan Luna tidak akrab," ucap Seline.
"Memangnya kamu dan anakku akrab setiap hari?" Lalu seluruh tamu undangan tertawa. Seline dan Brama menikah hanya untuk seperlunya saja, seperti Jay dan Luna tidak ada maksud yang lebih indah seperti cinta.
***
"Kalau masih sakit kita ke rumah sakit, ya, Jay?" tanya Luna yang sudah kalang kabut karena sepertinya Jay belum sempat membaik. Pemuda itu meringkuk di atas kasur dengan dada yang berdebar, ia meletakkan genggaman tangannya di tengah dada tanpa tenaga.
Tentu Jay tidak mau datang ke rumah sakit untuk meninggalkan jejak digital. Ia hanya mendapatkan pertolongan pertama dengan selang oksigen dan obat seperti sekarang.
"Maaf, ya? Nggak bisa ngubah apa-apa?" Tubuh dalam selimut itu dirangkul, suara lembut Luna menerpa indera Jay. Pelukan itu entah kenapa sedikit membantunya merasa kuat.
"Boleh peluk aku sampai tidur?"
"Hmmm aku juga berencana tidur kaya gini, meski terasa kulit dan tulang Luna sangat menyukainya."
Pelukan itu bertahan sampai pagi, di luar hujan pun tidak mengusik. Sempat Luna membisikkan bahwa meski berakhir dengan plot yang buruk ia ingin menciptakan kenangan indah saja, ia hanya ingin kedamaian sebelum tanggal yang telah ditentukan.
"Luna."
"Ya?"
"Aku suka kamu yang seperti ini."
***
Maaf ngantuk, komen besok harus mood
KAMU SEDANG MEMBACA
After Sundie
Novela Juvenil"Seandainya netra itu terbuka, pasti akan menjadi sorot elang yang siap melumpuhkan mangsa. Sebatas andai karena sepasang yang indah itu tertutup sempurna. Akan indah jika warna bibir itu ranum lalu tersenyum, sangat buruk karena nyatanya dia membir...