20 | Jawaban

23 3 0
                                    

"Bunda, ini kenapa bedaknya dempul banget?!" Dira panik melihat wajahnya yang terlalu putih.

"Huwaaa, Bunda, lipstiknya nyoret sampai pipi!"

"Ini kenapa jilbabnya miring gini, sih?!"

Begitulah keadaan rumah Dira di pagi ini. Sejak pukul lima pagi, Dira sudah ribet dengan dirinya sendiri.

Hari ini adalah hari kelulusannya. Diadakan acara di sebuah gedung yang tak jauh dari rumah Dira. Sejak beberapa menit yang lalu-ralat, setengah jam yang lalu, Dira sibuk dengan make up yang memoles wajahnya.

Sebenarnya Dira tidak setuju dengan bunda yang melarangnya make up di MUA. Katanya, lebih bagus dan irit kalau make up sendiri di rumah. Akhirnya Dira hanya bisa pasrah. Toh, kalau tetap nekat make up di MUA, duit dari mana? Sudah beberapa minggu tidak sekolah, tentu saja dompet Dira kering.

Bunda membenahi jilbab Dira yang miring. "Gini kan cantik. Daripada make up di MUA yang alisnya nanti dibuat kayak Sinchan. Emang kamu mau?"

"Enggak, lah!"

Akhirnya, perdebatan dan drama di pagi hari itu selesai. Dira naik ke atas motor bunda. Sedikit ribet karena ia memakai kebaya yang sempit. Bunda lalu mulai melajukan motornya.

Jujur, Dira malu berpenampilan seperti ini di jalan. Mana lipstiknya merah merona pula. Hadeh. Kalau pakai helm sih masih mending ya, wajahnya bisa ditutupi kaca. Sayangnya, ia tidak memakai helm, takut jilbabnya rusak.

Begitu sampai di lokasi kelulusan, entah kenapa tangan Dira langsung panas dingin. Ya begini kalau nervous. Nanti, Dira akan tampil ke atas panggung membacakan surah An-Naba'. Tidak sendiri, sih, ada temannya dari kelas sebelah. Tapi tetap saja dira nervous. Ia jarang tampil di depan umum.

Dira celingak-celinguk mencari Adit. Sejak beberapa menit yang lalu ia datang, Adit belum menampakkan batang hidungnya. Ah, bodo amat lah. Dira lebih memilih memikirkan caranya menghilangkan nervous daripada memikirkan Adit yang tak nampak batang hidungnya.

Acara dimulai. Semua wisudawan dan wisudawati baris di luar gedung terlebih dahulu. Mereka lalu masuk ke dalam gedung dengan langkah pelan sembari diiringi lagu-Dira tidak tahu nama lagunya, sih. Hehe.

Karena kelas Dira adalah kelas F, ia mendapat kursi paling belakang. Dira lalu menoleh ke samping kanan di bagian kursi laki-laki. Ternyata Adit ada di sana. Duduk di belakang bersama teman-temannya.

Jantung Dira berdegup semakin kencang. Bukan, bukan karena Adit tersenyum kepadanya. Mimpi! Jantungnya berdegup kencang karena MC memanggil nama Dira dan temannya untuk maju ke atas panggung membacakan surah An-Naba'. Weladala, kalau Dira ngompol gimanaaa?! Sumpah, ia nervous setengah mati!

Tapi ternyata tidak sampai ngompol, kok. Hanya tangannya gemetar dan keringat dingin. Setelah selesai dan kembali ke tempat duduk, nervousnya sudah hilang walau sedikit.

Dira lalu menikmati penampilan-penampilan berikutnya. Mulai dari penampilan ekstrakurikuler sekolah dan penampilan solo vokal.

Puncak acaranya, satu per satu murid dipanggil namanya ke depan untuk dikalungkan samir kalung wisuda berlogo sekolah. Nama Dira lama sekali disebutnya. Ia hampir saja tertidur.

Akhirnya namanya dipanggil dan ia naik ke atas panggung. Pak Yadi mengalungkan samir ke leher Dira. Beliau memberikan kata-kata selamat dan penyemangat. Hati Dira sedikit tersentuh.

Perjalanan tiga tahun hingga sampai di titik ini tidaklah mudah. Setelah ini, masa SMP-nya benar-benar selesai. Ia harus meninggalkan teman-temannya, guru-gurunya, juga mie gelas di kantin guru yang menjadi favorit Dira. Ia juga tidak akan bertemu dengan ... Adit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta MonyetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang