10 | Lucu

25 4 0
                                    

2022

Sudah hampir setengah jam Dira, Khai, Ana, dan Tama menunggu kedatangan Desta. Namun, lelaki itu tak kunjung muncul. Dichat pun centang satu, nomornya tidak aktif.

"Ini mau nunggu Desta sampai kapan?" Tama membuka suara.

"Lama-lama bisa lumutan karena kelamaan nunggu tuh bocah," sahut Ana.

Dira berdecak sebal. Ia kesal pada Desta. Setidaknya, kalau memang benar-benar tidak bisa datang, minimal beri kejelasan kepada anggota kelompoknya. Kalau mendadak menghilang begini, repot juga kan. Akhirnya, mereka semua memutuskan untuk mulai membuat pot tanpa menunggu kedatangan Desta.

Dira menyiapkan ember kecil yang akan digunakan untuk mengaduk kain dengan semen. Lalu, ia memasukkan kain yang Ana bawa ke dalam ember tersebut. Khai memasukkan semen sedikit demi sedikit dan Ana yang menuangkan airnya. Lalu, tugas Tama adalah mengaduk kain itu dengan semen.

Awalnya, Dira hanya menyuruh Tama yang mengaduk karena ia cowok. Namun, dilihat-lihat kasihan juga jika hanya Tama yang mengaduknya. Dira pun memutuskan untuk membantu tama.

Mereka membuat pot dengan ukuran yang berbeda. Satu diperuntukkan untuk di luar rumah, jadi ukurannya besar. Satu lagi untuk vas bunga di dalam rumah, jadi dibuat dalam ukuran mini. Namun, yang mereka buat kali ini hanya pot besar. Sedangkan pot kecil akan dibuat di sekolah pada saat jam pembelajaran Seni Budaya minggu depan.

Kain yang tadi diaduk dengan semen kemudian dijemur di atas ember yang posisinya terbalik. Tujuannya agar jika kering nanti, kain tersebut bisa membentuk sebuah pot. Tama dan Dira membawa ember dengan kain di atasnya dengan berhati-hati, lalu menjemurnya di bawah terik matahari. Namun, tak berselang lama, semen yang melekat di kainnya justru pecah-pecah.

"Loh, kok pecah-pecah? Nggak jadi dong nanti?" Ana bertanya, panik.

"Masa iya kita harus ngulang lagi?" Khai mengimbuhi.

Dira diam. Memikirkan cara agar mereka tak perlu mengulang lagi dari awal. Di tengah diamnya, tiba-tiba ada pesan masuk dari pak Eko, guru Seni Budaya.

Pak Eko
Menjemurnya jangan di bawah
terik matahari, anak-anak
Cukup di tempat teduh aja gpp
Supaya tidak pecah-pecah

"Oalah," seru mereka berempat secara serempak. "Ternyata nggak boleh dijemur di bawah panas matahari," sambung Tama.

Mereka pun meletakkan kain itu di bawah pepohonan mangga yang rindang. Tama kemudian mengolesi kain dengan semen pada bagian yang pecah-pecah.

Mereka selesai membuat pot pada pukul sebelas lewat tiga puluh. Dira menyiapkan makanan untuk teman-temannya yang sudah bekerja dengan keras. Mereka pun menyantap makanan bersama-sama.

***

Dira dan teman sekelasnya pergi ke lapangan belakang untuk membuat pot kecil. Rencananya, Dira dan kelompoknya akan memberinya warna merah, tetapi nanti, nunggu jadi dan kering dulu.

"Anak-anak, ini potnya disimpan saja di kelas yang kosong. Minggu depan kita lanjutkan lagi. Untuk pot yang besar, bisa dibawa kembali ke dalam kelas, ya," perintah pak Eko.

Khai dan Ana meletakkan pot kecil yang belum kering ke dalam kelas kosong dengan hati-hati. Dira dan Tama membersihkan semen yang berserakan.

Lalu, mereka berjalan beriringan menuju kelas. Dira yang membawa pot besar. Di tengah perjalanan, Dira berpapasan dengan Adit yang sedang berjalan dengan Rizky. Ia dan Adit sempat bertatapan beberapa detik, lalu Dira segera mengalihkan pandangannya.

Jantung Dira berdegup kencang. Tidak aman. Bisa-bisa jantungnya bermasalah jika terus melihat wajah Adit.

Pembelajaran pun dilanjut. Setelah mapel Seni Budaya, selanjutnya adalah mapel IPS. Dira sangat menyukai mapel IPS karena gurunya yang asik. Bu Ningsih, namanya.

Sebelum pembelajaran dimulai, bu Ningsih selalu memberikan ceramah singkat atau motivasi kehidupan kepada murid-muridnya. Hal itu yang membuat Dira bersemangat untuk memulai pembelajaran.

Bu Ningsih juga bukan tipikal guru yang killer. Beliau lembut kepada murid-muridnya. Namun, juga bisa tegas ketika muridnya susah diatur.

Pernah dulu ketika ulangan IPS, Dira mendapatkan nilai seratus. Bu Ningsih memberi reward kepada Dira berupa uang sepuluh ribu. Dira tentu sangat senang. Lumayan, nambah uang jajan. Hehe.

"Sekian pembelajaran hari ini, sampai jumpa di pertemuan selanjutnya. Terima kasih," ujar bu Ningsih, mengakhiri pembelajaran di hari Kamis.

Dira segera pulang ke rumah. Perutnya sudah keroncongan sejak tadi, tak sabar menyantap makanan lezat buatan bundanya.

Azan ashar masih beberapa menit lagi. Dira putuskan untuk makan terlebih dahulu. Kebiasaan buruk Dira ketika makan adalah sambil scroll Instagram. Sepertinya, kebiasaan itu tidak akan bisa dihilangkan. Menurut Dira, makan sambil scroll medsos itu sepaket. Tidak akan lengkap rasanya jika makan tanpa HP.

Di tengah-tengah Dira scroll Instagram, HP-nya berbunyi. Notif WhatsApp dari orang yang Dira jauhi beberapa hari ini.

Adit
Dek

Hanya itu. Tak ada pesan lanjutannya. Dira kan jadi penasaran. Mau dibalas, tapi masih marah. Tidak dibalas, tapi penasaran. Akhirnya, Dira putuskan untuk membalas pesan dari Adit.

Dira
Iyaa

Tak berselang lama, hanya beberapa detik kemudian, Dira menerima balasan pesan dari Adit. Benar-benar fast respon.

Adit
Kamu tadi lucu banget waktu
bawa pot
Kayak lebih gede potnya drpd kamu

Duh, Dira jadi salting dibilang lucu. Ia tak bisa menahan senyumnya. Kalau begini kan Dira tidak jadi marah sama Adit.

Akhirnya, mereka terus berlanjut chattingan sampai azan ashar berkumandang. Dira yang tadinya marah pada Adit, sepertinya sudah lupa akan marahnya. Ia benar-benar mudah luluh hanya dengan sebuah kata "lucu".

Cinta MonyetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang