~Happy Reading~
.
.
Nathan menatap layar laptopnya dengan wajah tegang. Presentasi untuk proyek luar negeri ini harus cepat selesai, dan dia tahu tanggung jawab sebagai manajer departemen begitu besar.
Rasa lelah sudah mendera, tetapi proyek ini adalah prioritas utama. Saat meeting selesai, para staf mulai berkemas, membereskan catatan dan dokumen.
Tantenya, Elena, yang bermulut tajam, duduk dengan santai di ujung meja, jelas tak berniat segera pergi.
"Bagaimana menurut Pak Nathan? Proyek ini bisa selesai tepat waktu, kan?" tanya salah satu staf, mencoba memecah keheningan.
Nathan menoleh, wajahnya tetap tegang, namun dia berusaha tersenyum. "Pasti. Tim kita sudah kerja keras, tinggal beberapa final touch aja."
"Ya, mudah-mudahan nggak ada kendala besar di minggu-minggu terakhir ini ya pak," jawab staf itu, sebelum perlahan meninggalkan ruangan.
Namun, saat semua staf mulai keluar satu per satu, Elena tetap di tempatnya. Tatapannya tajam, penuh evaluasi, seakan siap melontarkan kritik yang pedas. Nathan tahu, ini bukan sekadar soal proyek.
"Nathan," Elena memulai, suaranya tegas dan mengintimidasi, "kamu pikir proyek ini bakal menyelamatkan karir kamu?"
Nathan menegakkan tubuhnya, bersiap menerima apa pun yang akan dikatakan tantenya. "Saya yakin proyek ini penting untuk kemajuan perusahaan, dan—"
Elena mengangkat tangannya, menghentikan kalimat Nathan.
"Kamu terlalu fokus sama pekerjaan, tapi kamu lupa satu hal, Nathan. Keluargamu. Papa kamu, Fadli selalu berharap kamu akan mengikuti jejaknya sebagai dokter. Tapi lihat dirimu sekarang, bekerja di perusahaan ini, seperti orang yang nyasar."
Nathan mengeratkan rahangnya, menahan amarah yang mulai naik ke permukaan. "Saya punya jalan sendiri, Tante. Menjadi dokter bukan satu-satunya pilihan buat hidup sukses."
Elena tertawa kecil, sinis. "Kamu pikir begini sudah sukses? Saya yang punya perusahaan ini, bukan kamu. Kamu ini cuma numpang. Kalau saja saya nggak mungut kamu buat kerja di sini, mungkin kamu sekarang cuma jadi pegawai rendahan di tempat lain."
Nathan menggigit bibirnya, mencoba tetap tenang, meskipun ucapan Elena membuat egonya terluka dalam.
Salah satu staf yang masih di ruangan, tampak gelisah dan berusaha melanjutkan pekerjaannya tanpa memperhatikan percakapan itu, tetapi jelas dia mendengar semuanya.
Staf itu melirik Nathan sekilas, merasa tidak nyaman dengan situasi yang semakin memanas.
"Jadi, kapan kamu mau serius?" lanjut Elena tanpa jeda, "Kamu sudah hampir kepala tiga, Nathan. Kalau nggak bisa jadi dokter, minimal jadi anak yang nurut. Jangan mempermalukan keluarga. Kasihan papa kamu, punya anak sulung tapi hidupnya hampir-hampiran gagal. Untung saya mau kasih kamu kerja di sini."
Nathan mengepalkan tangannya di bawah meja, mencoba meredam emosinya. Namun, semua kalimat itu terasa seperti serangan pribadi.
Dia tahu, Elena sudah lama tak pernah menyukainya, selalu membandingkan dia dengan adiknya, Zean, yang telah menjadi dokter muda sesuai keinginan Ayah mereka, Fadli.
"Papa nggak pernah bilang kalau dia kecewa sama aku," kata Nathan dengan suara serak menahan amarah.
"Dan aku yakin dia bangga dengan apa yang aku capai."
Elena terkekeh, mengejek, "Bangga? Dengan apa? Zean itu dokter, Fathan juga sedang kuliah kedokteran. Sementara kamu... cuma duduk di sini, di perusahaan ini. Apa kamu nggak malu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Charmed by Lies
RomanceNathaniel Hastanta, seorang pria karismatik dan manipulatif. Tahu bahwa Ayesha Shekilla, pacarnya, mulai merencanakan balas dendam setelah mengetahui perselingkuhannya dengan Maya, rekan kerja di kantor - sekaligus FWB-annya sejak masa kuliah. Namu...