CHAPTER 2

525 82 1
                                    

Jam berdenting setiap jarum jam itu menunjukan pukul 12 malam, Hael gelisah dalam tidurnya bahkan merintih di setiap gumaman kata yang tidak jelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam berdenting setiap jarum jam itu menunjukan pukul 12 malam, Hael gelisah dalam tidurnya bahkan merintih di setiap gumaman kata yang tidak jelas. 

Sebuah mimpi buruk yang setiap malam dia dapatkan, Hael berdiri di depan pintu kamar sangat kakak dengan menangis sesenggukan. 

"Kakak~ hiks.. kakak bangun adek takut" ucapnya mengguncang pelan tubuh berlumuran darah itu. 

Tubuh Hael tidak bisa terkontrol jika didalam mimpi, dirinya akan melakukan hal sama berulang seperti menghampiri mayat sangat kakak dan mengguncang nya pelan sampai memeluknya sambil menangis sesenggukan. 

Hael tau ini mimpi karena hal seperti ini juga sering terjadi saat dirinya berada di penjara. Rasa sesak menggerayapi dada Hael tapi dirinya tetap memaksakan untuk terus menggenggam sangat kakak. 

Mimpi itu berlanjut sampai sangat kakak diambil paksa darinya dan Hael meronta tidak ingin dipisahkan. Kejadian itu berulang sampai Hael terbangun dari tidurnya. 

"kakak hiks.. kakak" gumamnya saat sudah tersadar dan terbangun dari mimpi berulang itu. 

Hael menatap kearah jam dinding dan pukul menunjukan jam 3 malam, tentu saja Hael tidak mungkin bisa tertidur lagi. 

Hael merasa haus dan ingin turun ke lantai bawah mengambil minuman, jalan Hael sempoyongan tapi tetap dipaksa olehnya. 

Kali ini Hael menggunakan lift untuk turun, kepalanya sangat pusing dirinya terus berjalan tanpa peduli ada seseorang yang baru datang dan melihat dirinya berjalan seperti itu. 

Hael berjalan kearah kulkas dan mengambil air dingin, "Apakah ada obat disini?" ucapnya bertanya tanya sambil mengambil air putih yang ada didalam kulkas. 

"Obat tidak ada didalam kulkas" jawab seseorang dari arah belakang. 

Devano Andrean Willson, anak pertama sekaligus abang pertama Hael. Menyerahkan kotak obat dan Hael hanya menatap sekilas lalu mengambilnya. 

"Makasih abang" ucapnya lemah lembut. 

Hael menyalakan lampu dapur untuk mencari obat yang dicarinya, untuk meredakan sakit kepala hebat ini Hael langsung mengambil dua pil obat sekaligus. 

Devano menggenggam tangan Hael, "apa yang kamu lakukan" ucapnya mengernyit kesal. 

"Hah?" 

"Apa yang kau lakukan" ucapnya lagi menunjuk pil obat yang dipegang oleh Hael. 

"Minum obat" jawab Hael jujur menatap bingung. 

'Sialan, apa sih mau nih orang' batinnya kesal karena kepalanya saat ini sangat sakit. 

Devano mengambil satu pil obat yang ada ditangan Hael, "hanya boleh minum satu pil obat" ucapnya. 

Hael menghela napas lalu meminum satu pil itu tanpa protes, "abang istirahatlah, pasti lelah setelah pulang kerja" ucapnya mengusir secara halus. 

Devano sepertinya tidak peka malah tetap menatap lamat Hael, dirinya tidak perduli dan memilih berjalan ke ruang keluarga dipertengahan jalannya Hael terhenti karena melihat sebuah bingkai keluarga. 

'Kakak?' batinnya seakan melihat rupa kakaknya. 

Hael berbalik dan berjalan cepat kearah bingkai foto keluarga yang besar itu, benar saja ada seorang wanita yang sangat mirip dengan kakak nya dan dalam ingatan tubuh ini dia adalah ibu mereka. 

'Sangat mirip tapi warna mata mereka berbeda' batin Hael terus menatap sosok wanita cantik didalam foto. 

Devano yang masih mengikuti Hael dalam diam menatap penuh tanda tanya karena ekspresi Hael saat ini seperti sangat menyakitkan. 

'Apakah kebetulan aku tiba tiba berada di tubuh anak ini atau ada sebuah takdir membawaku kesini?' batinnya bertanya tanya. 

Hael merindukan sangat kakak, melihat wajah yang selama ini tidak bisa dilihatnya karena rumah mereka terbakar saat dirinya dipenjara memusnahkan semua foto mereka. 

Hael tersenyum pahit, "mommy, bisakah aku memanggilmu seperti itu juga?" gumamnya bertanya. 

Devano terdiam melihat Hael yang seperti orang putus asa, Devano memikirkan lagi sepertinya adiknya itu tidak pernah benar benar melihat wajah ibu mereka apalagi merasakan kasih sayangnya karena ibu mereka tiada saat Hael berumur 1 tahun. Adiknya pasti lupa dengan itu semua. 

"Mommy, El hari ini terbangun dengan rasa sakit yang luar biasa disini" ucap Hael lagi menunjuk kearah dadanya. 

Devano hanya diam mengamati. 

"Mommy, El tadi bermimpi buruk tapi mimpi itu juga sebagai pengingat jika rasa sakit yang El rasakan nyata adanya" ucapnya lagi mengelus bingkai foto keluarga itu. 

"Hael" panggil Devano. 

Hael terdiam sebentar, dirinya berbalik kearah Devano lalu memeluk dirinya erat membuat Devano menegang dan dengan kaku mengelus punggung Hael. 

Didalam pelukan itu Hael menyeringai, "abang, ini menyakitkan untukku setiap aku terbangun rasanya seperti berada diambang kematian. Tubuhku gemetar karena rasa sakit, kepalaku seperti ingin pecah tubuhku sakit dadaku sesak. Abang, El tidak baik-baik saja sungguh El tidak sekuat itu" ucapnya dengan nada sedih. 

Devano mematung, kata kata yang keluar dari mulut adik bungsunya ini entah kenapa menyakiti hatinya. Sudah lama Devano merasakan perasaan yang tidak mengenakan ini. 

Tanpa sepatah kata Devano menggendong Hael ala koala, "tidur dikamar abang" ucapnya datar tapi tangan itu mengelus lembut walapun terkesan kaku. 

Hael diam saja terus menyembunyikan wajahnya dan Devano juga hanya diam saja sambil berjalan kearah kamarnya menggunakan lift. 

Sesampainya dikamar Devano menurunkan Hael, dirinya ingin mandi dan berganti pakaian lebih dulu. Sedangkan Hael hanya menatap balkon yang horden nya setengah terbuka. 

"Malam ini tidak ada bintang" gumam Hael menatap kearah langit yang bisa terlihat dari kaca. 

'Keluarga ini berpengaruh, aku harus menjadi kesayangan mereka dan memanfaatkan semua yang ada' batin nya teguh untuk membalas dendam. 

Devano keluar dari kamar mandi dan melihat Hael yang melamun menatap kearah balkon, dirinya hanya diam melanjutkan mengeringkan rambutnya dan memakai celana saja. 

Devano mendekat kearah Hael mendudukan dirinya kepangkuan, "kenapa hm?" tanyanya datar. 

"Tidak ada bintang malam ini" jawab Hael mengalihkan pandangannya kearan Devano. 

Devano terdiam, paras adik bungsunya ini sangat meniru penampilan sangat mommy apalagi manik mata mereka benar benar sama tapi kenapa manik indah milik adiknya ini kosong. 

"Memangnya kenapa dengan bintang?" tanya Devano lebih panjang, tumben sekali dia seperti ini. 

"Hanya saja El menyukai bintang" jawabnya seadanya. 

'Mirip sekali dengan mommy' batin Devano menatap lamat Hael. 

"Tidur" ucap Devano membawa Hael kedalam pelukannya lalu berbaring. 

Hael hanya diam merasakan elusan lembut di punggungnya, dirinya seperti mengingat dirinya dulu yang selalu dimanja oleh sang kakak. 

Perlahan manik indah itu terpejam dan Devano menghela napas panjang, dirinya benar benar terkejut saat melihat penampilan Hael yang tidak tertutup rambut dan tanpa kacamata. 

'Mommy versi laki laki' batinnya tersenyum tipis tanpa sadar. 

Devano juga ikut memejamkan matanya, malam itu dua saudara berpelukan dan tertidur dengan nyenyak apalagi Hael yang bisa tertidur adalah sebuah kemajuan mungkin karena kehangatan seorang keluarga dirasakannya lagi jadi Hael lebih bisa nyaman dalam tidurnya. 

Bersambung... 



Persona vindictae [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang