part seven/ awkward dinner

79 7 1
                                    

Haloo!!
Tolong comment positifnya
Dan berikan keritik bila perlu.
Happy reading!

.
.
.
.
.

Leo berdiri di depan cermin di kamarnya, memandangi bayangan dirinya yang tampak begitu kecil di balik pakaian formal yang ia kenakan. Tangan gemetarnya berusaha merapikan dasi yang terasa sedikit terlalu ketat di lehernya. Makan malam ini adalah pertemuan penting yang mungkin akan menentukan nasib perjodohannya dengan Ceinar.

Di sudut ruangan, jasnya tergantung, siap dipakai. Namun, Leo belum berani untuk benar-benar menyentuhnya. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana jika ini tidak sesuai dengan harapannya? Bagaimana jika makan malam itu penuh dengan keheningan yang canggung?

Leo duduk di tepi ranjang, menghela napas panjang. Dia menatap ponselnya, layar yang gelap memantulkan bayangannya yang semakin bingung. Riven, kakaknya, sudah bilang akan mengantarnya, tapi itu tak banyak membantu meredakan kegelisahan yang terus menghantuinya.

"Semua akan baik-baik saja" bisik Leo kepada dirinya sendiri, meskipun tidak sepenuhnya percaya.

Terdengar suara ketukan di pintu, dan tak lama kemudian Riven masuk dengan postur tegap seperti biasanya. "Sudah rapih?" tanya Riven sambil melirik Leo yang masih tampak ragu.

Leo mengangguk pelan, meskipun di dalam hatinya dia merasa jauh dari kata siap. "Iya, tinggal pakai jas" jawabnya singkat.

Riven memperhatikan adiknya sejenak, lalu tersenyum kecil. "Kamu terlalu banyak berpikir. Ini cuma makan malam. Dia juga manusia, bukan singa yang akan menerkammu" katanya dengan nada bercanda, mencoba meringankan suasana.

Leo tersenyum lemah, kemudian berdiri untuk mengenakan jasnya. Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, dia akhirnya siap. Di depan cermin, dia melihat dirinya yang tampak lebih rapi dan dewasa, meski di dalam masih ada rasa takut yang menggelayuti.

"Pakaian ini terlihat bagus denganmu" komentar Riven, kemudian menepuk bahu adiknya. "Ayo, sebelum kita terlambat."

Leo menarik napas panjang sekali lagi sebelum mengikuti Riven keluar dari kamarnya. Langkahnya terasa berat, seakan setiap langkah menuju restoran adalah menuju ketidakpastian besar dalam hidupnya. Tapi dia tahu, ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar yang harus ia jalani, suka atau tidak.

.
.
.
.

Di dalam mobil, perjalanan terasa sunyi. Leo tidak banyak bicara, hanya tenggelam dalam pikirannya sendiri, membayangkan bagaimana pertemuannya dengan Ceinar nanti. Riven mencoba mengobrol sesekali, tapi Leo terlalu gugup untuk benar-benar menanggapi.

Ketika mereka akhirnya tiba di depan restoran, Leo merasa perutnya semakin berkecamuk.

Riven berhenti di depan restoran, Leo merasakan debaran jantungnya semakin cepat. Riven, yang duduk di kursi kemudi, menoleh ke arahnya dan memberikan senyum tipis, mencoba menenangkan Leo. "Kamu akan baik-baik saja," katanya sambil menepuk pundak adiknya.

Leo menelan ludah, merasa gugup, tapi dia tahu tidak ada jalan mundur. "Ka Riven tidak masuk?" tanyanya, berharap kakaknya akan menemani setidaknya beberapa menit saja.

Riven menggeleng. "Tidak. Ini antara kamu dan Ceinar. Kamu harus menghadapinya sendiri," jawabnya tegas, meskipun nada suaranya lembut. "Percaya dirilah. Kalau ada apa-apa, kamu bisa menghubungi kaka."

Leo menghela napas dan mengangguk pelan, lalu membuka pintu mobil. Hembusan angin malam menerpa wajahnya saat dia melangkah keluar. Dia melirik ke restoran yang tampak megah di depannya, merasa seperti akan memasuki dunia yang sangat asing. Ketika pintu mobil tertutup, Leo menoleh sekali lagi ke arah Riven yang sudah bersiap pergi.

THE MAFF [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang