Kini aku berada di rumah bersama dua wanita yang aku kagumi. Elizabeth, yang baru pulang dari rumah sakit, tampak lelah namun tetap menawan. Dia berjuang dengan perasaannya setelah insiden yang menegangkan, dan aku bisa merasakan beban di pundaknya.
Di sampingnya, ada Sofia, adiknya yang memiliki kepribadian cuek dan dingin. Meski terlihat tidak peduli, aku tahu ada sesuatu yang lebih dalam dalam dirinya. Seringkali, dia hanya duduk diam, matanya menyiratkan pikiran yang mendalam, sementara senyumnya yang jarang muncul terasa seperti misteri yang belum terpecahkan.
Aku merasa terikat dengan keduanya, berusaha memberikan dukungan untuk Elizabeth dan mencoba mendekati Sofia, meskipun dia seringkali menanggapi dengan dingin. Setiap kali aku berusaha mengajaknya bicara, dia hanya menjawab dengan singkat, tetapi di balik sikap itu, aku merasa ada kerentanan yang ingin dia sembunyikan.
Hari-hari berlalu, dan aku berusaha menjadi penopang bagi Elizabeth, sambil berharap dapat menembus dinding yang dibangun Sofia. Dalam kekacauan emosi ini, aku tahu satu hal: aku tidak bisa membiarkan keduanya merasa sendirian.
Malam itu, aku merasa penasaran dan sedikit cemas. Dengan hati-hati, aku mengetuk pintu kamar Elizabeth. Setelah beberapa detik, pintu pun terbuka. Elizabeth muncul dengan penampilan yang sederhana, hanya mengenakan bra dan celana dalam, terlihat terkejut namun tidak marah.
“Maaf mengganggu, aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja,” kataku, berusaha tidak memperhatikan betapa menawannya dia saat itu.
Elizabeth tersenyum lembut, mengundangku masuk. “Aku baik-baik saja. Hanya butuh sedikit waktu untuk diri sendiri,” jawabnya, suaranya lembut namun penuh makna.
Dalam momen itu, aku merasakan kedekatan yang semakin dalam antara kami. Meskipun situasi kami rumit, cinta yang kami miliki satu sama lain tak pernah pudar.
Elizabeth menatapku dengan mata penuh kebingungan. “Aku masih tidak percaya bahwa di perutku ada anak dari anakku,” katanya, suaranya bergetar.
Aku mendekatinya, mencoba memberikan kenyamanan. “Aku tahu ini semua terasa tiba-tiba, tetapi kita akan melewati ini bersama. Kita akan menjadi orang tua yang baik.”
Dia tersenyum tipis, meski terlihat masih ragu. “Aku berharap aku bisa merasakan kebahagiaan itu sepenuhnya.”
Aku mengulurkan tangan, menggenggam tangannya. “Kita akan menciptakan kebahagiaan itu, satu langkah sekaligus.”
Dalam momen itu, aku merasakan harapan baru tumbuh di antara kami, meskipun masa depan masih terasa penuh tantangan.
Lalu Elizabeth tersenyum lembut dan berkata, "Aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa aku adalah ibumu, dan aku tak pernah bosan untuk mengingatkanmu."
Saat aku melihat Elizabeth, hatiku berdebar. Aku merasa terikat dengan perasaanku padanya, bahkan di tengah kehadiran Sofia. Ada sesuatu tentang kehadiran Elizabeth yang selalu membangkitkan kemaluanku.
Daniel:"Berapa kali pun aku melihatmu, kau selalu terlihat cantik dan menawan, Elizabeth. Lihatlah lututmu."
Elizabeth:"Kenapa dengan lututku?"
Daniel:"Mereka hanya membuatku semakin kagum pada keindahanmu dan rasanya aku ingin menjilatinya."
Elizabeth: "Aku hanya tidak percaya bahwa kau adalah anakku, dan kau mengagumi lututku yang sudah tua."
Daniel:"Tidak, yang kuagumi adalah keindahanmu secara keseluruhan. Setiap bagian dari dirimu memiliki membuat ku terangsang, dan aku sangat suka ."
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat ke kamar Elizabeth.
Elizabeth; "Jangan-jangan itu Sofia!"
Dengan cepat, Elizabeth berkata, "Cepat, sembunyi di lemari!" Dia tampak panik namun tetap tenang, berusaha menjaga situasi tetap aman.
Daniel merasa jantungnya berdebar, tetapi dia bisa merasakan kecemasan Elizabeth. Dalam momen tersebut, ada ketegangan di udara, tetapi juga rasa saling percaya di antara mereka.
Dalam kepanikan, Elizabeth berbisik, "Cepat, sembunyi di lemari!" Dia terlihat tegang, tetapi berusaha menjaga ketenangan.
Daniel masuk ke dalam lemari, mendengar langkah kaki Sofia yang semakin dekat. Jantungnya berdebar kencang, sementara Elizabeth berusaha terlihat santai saat pintu kamar terbuka.
Sofia:"Elizabeth, ada apa? Kenapa kamu terlihat gelisah?"
Elizabeth tersenyum, berusaha meyakinkan. "Oh, tidak ada, aku hanya… sedikit kelelahan."
Sofia mengangguk, tetapi tetap memperhatikan Elizabeth dengan curiga. Dia mulai mencari, tetapi tak menemukan Daniel di dalam lemari.
Ketegangan menggantung di udara, sementara Daniel berdoa agar Sofia tidak curiga lebih jauh.
Sofia melihat Elizabeth dan bertanya, "Kak, kenapa hanya memakai bra dan celana dalam? Nanti Daniel bisa melihat."
Elizabeth meneguk ludah, merasa cemas tetapi berusaha tersenyum. Dalam hati, dia berpikir, "Kau tidak tahu, Sofia, betapa aku mencintai Daniel, dan dia ada di sini. Semoga semua ini berjalan baik."
Dia berusaha untuk tetap tenang, sambil berharap situasi ini tidak terungkap dan bisa menjalin momen indah di antara mereka.
Akhirnya, Sofia membuka diri. "Kak, aku merasa ada sesuatu yang berbeda saat bersama Daniel. Rasanya... istimewa. Maafkan aku jika ini terdengar aneh, tapi aku merasa ada ketertarikan padanya."
Elizabeth terkejut, tetapi dia juga merasakan kebahagiaan dalam ketulusan adiknya. "Aku mengerti, Sofia. Daniel memang memiliki pesona yang sulit ditolak."
Mereka berdua tertawa kecil, mencoba mengatasi situasi tersebut dengan kehangatan dan saling memahami.
Dari dalam lemari, Daniel mendengar percakapan itu, hatinya berdebar-debar. Dia merasa terjaga oleh perasaan campur aduk—antara kecemasan dan rasa ingin tahu.
Saat mendengar Sofia berbicara tentang ketertarikan terhadapnya, Daniel merenungkan perasaannya sendiri. Mungkin ini saat yang tepat untuk menghadapi perasaan yang selama ini dia pendam.
Dia berusaha menenangkan diri, berharap bisa Sofia tidak menyadarinya.
Elizabeth melihat Sofia dan berkata, "Sofia, kau harus menjaga penampilanmu. Terkadang, payudara mu yang terlalu terbuka itu bisa membuat orang lain salah paham."
Dia melanjutkan, "Lagipula, aku terkejut melihat betapa cepatnya bagian itu tumbuh. Sepertinya kita semua berubah seiring waktu."
Sofia tersenyum, sedikit malu, tetapi menghargai perhatian kakaknya. "Terima kasih, Kak. Aku akan lebih memperhatikan hal itu.
Sofia tersenyum lebar dan berkata, "Aku baru tahu, Kak, kalau penampilanmu seperti ini membuatmu terlihat sangat muda, seperti anak SMA! Hahaha."
Elizabeth tertawa, "Ah, jangan berlebihan! Tapi terima kasih, mungkin aku harus sering tampil seperti ini."
Mereka berdua mulai saling mengelitik, suasana menjadi penuh tawa dan keceriaan, tanpa menyadari bahwa ada Daniel yang mendengarkan dari dalam lemari.
Sofia tersenyum dan berkata, "Baiklah, Kak, sepertinya aku akan lama di sini karena kau tahu apa yang aku maksud! Hahaha."
Elizabeth tertawa, "Baiklah, Sofia, selamat tidur."
Sofia melanjutkan, "Eh, di mana kamar Daniel, Kak?"
Elizabeth menjawab dengan nada bercanda, "Sofia, jangan nakal ya!"
Sofia hanya tersenyum dan berkata, "Baiklah, baiklah. Aku janji!"
Keduanya tertawa, menciptakan momen penuh kehangatan dan kebersamaan.
Jangan lupa yah vote dan komen
Ini bukan cerita pendek kok ini cerita novel panjangMaaf yah selalu telat ,aku kurang ide untuk cerita dewasa ini,aku lebih suka cerita fantasi hhhe
Terima kasih sudah membaca yang ada ide silahkan komen apa aja aku tampung asal jangan langsung ending hhhe
KAMU SEDANG MEMBACA
Hubungan Sedarah (18+)
RomanceMenceritakan hubungan terlarang Daniel dengan ibunya Elizabeth Jangan lupa tinggalin jejak yah vote dan folownya biar nanti aku lanjut trus