3

53 15 11
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jihoon duduk termenung di kafe tempat ia biasa bertemu dengan Lyra. Udara malam itu terasa hangat, tapi di hatinya, ada kehampaan yang sulit ia jelaskan. Lyra baru saja pergi setelah percakapan panjang tentang hubungan mereka. Ia menatap secangkir kopi yang belum disentuhnya, mencoba merangkai kata-kata untuk menjelaskan kenapa ia tidak bisa berkomitmen dengan Lyra.

Mereka sudah bersama selama lebih dari satu tahun. Lyra adalah sosok yang penuh kasih dan perhatian, selalu mendukung Jihoon dalam segala hal. Tapi, di balik kebaikan Lyra, ada perasaan yang Jihoon sembunyikan selama ini—perasaan yang bahkan ia sendiri kesulitan mengerti.

Jihoon merasa ada sesuatu yang hilang, tapi ia tidak tahu apa. Bukan karena Lyra kurang, bukan juga karena Jihoon tidak mencintainya. Namun, setiap kali ia membayangkan masa depan, gambaran itu selalu kabur. Dia belum siap terikat dengan siapapun, bukan hanya Lyra, tapi dengan siapapun.

Salah satu alasannya adalah trauma dari masa lalunya. Ayah dan ibunya bercerai ketika ia masih kecil. Pertengkaran yang ia saksikan, keretakan yang perlahan tapi pasti terjadi di depan matanya, membuat Jihoon takut akan kegagalan. Baginya, komitmen terasa seperti jebakan yang pada akhirnya akan membawanya pada kekecewaan yang sama seperti yang dialami orang tuanya. Dia takut mengecewakan Lyra atau, lebih buruk lagi, melukai perasaannya.

Alasan lainnya, Jihoon masih merasa dirinya belum utuh. Ada banyak impian dan ambisi pribadi yang belum ia capai. Ia merasa belum menemukan jati dirinya sepenuhnya, dan berpikir bahwa terikat dalam hubungan serius akan membatasi langkahnya. Meski Lyra tak pernah meminta terlalu banyak, Jihoon tahu hubungan mereka menuntut perhatian yang lebih besar dari yang saat ini bisa ia berikan.

Jihoon menarik napas dalam-dalam, mengingat tatapan Lyra yang penuh harap saat mereka berbicara tadi. Dia tahu, tidak ada yang salah dengan cinta mereka, tapi juga tidak bisa mengabaikan suara di dalam dirinya yang terus mengatakan bahwa ini belum saatnya. Jihoon tidak ingin berbohong pada Lyra, jadi ia memutuskan untuk jujur.

"Aku tidak bisa berkomitmen, Lyra," bisiknya dalam hati, seolah-olah mengucapkan itu kepada angin. "Bukan karena aku tidak mencintaimu. Aku hanya belum bisa berdamai dengan diriku sendiri."

Malam itu, Jihoon tahu bahwa meski cinta di antara mereka besar, terkadang cinta saja tidak cukup.

~^°^~

Haruto memutuskan untuk berlari malam itu, berlari di sekitar sungai Han yang letaknya tidak begitu jauh dari apartemen. Ia memang lelah, tapi herannya matanya selalu sulit memejam ketika terlalu lelah. Mungkin hanya fisiknya yang lelah, namun isi kepalanya begitu berisik.

Kakinya sudah mulai berlari bahkan sudah melewati sisi sungai Han , sampai akhirnya pria yang memiliki tinggi 182 cm itu melihat sosok wanita sedang membungkuk, seolah sedang kelelahan dengan kedua tangannya memegang lutut. Namun, punggungnya bergetar. Haruto sempat melewati dan ingin masa bodo saja. Tetapi, beberapa langkah setelah melewati, kepala Haruto bergerak menoleh penasaran dengan wajah yang sedang membungkuk itu.

Sweet Night // 💎 Haruto 🦋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang