Yogyakarta sedang hujan, suasana sedang adem, namun tidak dengan Abimanyu. Ia berlatih memanah di tengah hujan lebat bersama dengan Aditya. Mereka berdua tengah berdiri di lapangan memanah yang ada di kediamannya. Abimanyu memang terkenal unik, ada saja kegiatan diluar kebiasaan orang biasa. Suara rintik air yang terus turun mengiringi latihan mereka. Meskipun cuaca tak bersahabat, semangat Abiamanyu tak surut. Ia membuka pakaiannya, dan memperlihatkan otot-ototnya yang kekar terguyur hujan. Ototnya semakin mengeras ketika menarik busur, merasakan ketegangan tali itu diantara jari-jarinya.
Di tengah hujan lebat yang membasahi tanah, Abimanyu dan Aditya berdiri di lapangan memanah. Meskipun cuaca tak bersahabat, semangat Abimanyu tak surut.
"Seperti kata pepatah, practice makes perfect," ujar Abimanyu sambil memeriksa panahnya.
Aditya mengangguk setuju.
"Betul ndoro."
Abimanyu dan Aditya fokus pada sasaran yang terletak di kejauhan. Hujan mengguyur wajahnya, namun itu justru menantangnya, ia tidak suka hal yang biasa-biasa, yang orang normal biasa lakukan. Ia menarik napas dalam-dalam menyesuaikan posisi, dan melepaskan panahnya dengan gerakan yang anggun. Panah meluncur tepat ke lingkaran yang ada di tengah, tepat sasaran, hal tersebut disusul oleh anak panah Aditya yang menembus sasaran di sebelah panah tuannya.
"Bagus, dit! Teruskan!" Puji tuannya itu
"Matursuwun, ndoro!" Serunya di tengah hujan lebat
Keduanya tertawa meskipun basah kuyup, mereka saling menunjukkan kemampuan terbaik, tidak ada gap antara tuan dan ndoro. Abimanyu sungguh menikmati sesi latihan hari ini bersama Aditya, pengawalnya.
Setelah berlatih memanah, mereka segera menuju pendopo di samping lapangan memanah itu. Disana sudah menunggu abdi setianya, Wira. Wira sudah bekerja menjadi abdi setianya sejak Abimanyu beranjak remaja. Biasanya Haryo atau Utari yang mengurusnya semasa kecil, namun ayahnya Raden Mas Bumi mengatakan ia perlu pengasuh sendiri agar tidak memberatkan abdi lain sehingga memiliki pekerjaan ganda.
Wira berperawakan tidak pendek, juga tidak tinggi, tapi tidak setinggi Aditya, tubuhnya kurus, namun ia sangat gesit dan kuat, mungkin apa yang ia makan semuanya menjadi otot. Wira juga pandai memijat, membacakan dongeng, juga memasak, tak jarang Abimanyu memintanya untuk mencicipi makanan yang dibeli dari luar, jika cocok dengan seleranya, maka Abimanyu akan menyantapnya, ya layaknya Haryo, ia pun suka sekali jajan.
"Niki ndoro." Kata Wira sambil memberikan handuk pada Abimanyu.
(Ini ndoro)Seorang abdi wanita yang kebetulan mengantarkan teh hangat, berdehem dan wajahnya memerah, ia berusaha memalingkan pandangan dari Abimanyu dan Aditya yang bertelanjang dada dan tanpa sadar air hujan yang dingin tadi, membuat milik mereka menggembung di bawah sana.
"Ngopo e yu?" Tanya Wira pada Ayu, sang abdi wanita.
(Kenapa yu?)"Nganu, kuwi mas." Kata Ayu malu-malu sambil meletakkan nampan di atas meja pendopo lalu berjalan mundur.
(Anu, itu mas)"Opo tho?" Tanya Wira penasaran
Ayu mendekati Wira dan berbisik pada pria itu, mata Wira membulat sempurna dan memandang ke arah dua pria di hadapannya ini.
"Astagfirullah, Ayu!! Iso-isone lho! Kono lungo!" Usir Wira sambil mendorong-dorong tubuh Ayu.
(Astagfirullah, Ayu!! Bisa-bisanya lho! Sana pergi!)Abdi itu terkikik geli, lalu mundur dan pergi ke dapur, sedangkan Wira mendapat tatapan heran dari tuannya dan Aditya.
"Nunsewu ndoro kalih Mas Adit, panjenengan sekalian lebih baik segera pergi mandi, karena..." Wira canggung melanjutkan kalimatnya.
YOU ARE READING
Sasmitaning Wektu
Historical FictionAbimanyu Nareswara, putra pertama Raden Mas Bumi Anjasmara, sudah beranjak dewasa, menjadi seorang pria yang tampan, bijaksana dan pintar. Namun di umurnya yang sudah matang, ia belum punya seorang calon istri bahkan kekasih sekalipun dan membuat Ka...