Maheswari tersenyum ramah saat sekelompok murid sekolah memasuki pintu depan museum. Mata mereka memindai bangunan juga isi dari museum tersebut.
Maheswari mulai menjelaskan dengan antusias salah satu artefak yang dipajang di hadapan mereka, sebuah patung perunggu kuno.
"Selamat datang di Museum Ulen Sentalu. Hari ini kita akan mempelajari beberapa peninggalan penting dari masa lampau. Di depan kalian ini adalah patung perunggu yang berasal dari abad ke-8, peninggalan kerajaan Hindu di Jawa."
Dia berhenti sejenak, menunggu perhatian penuh dari para murid.
"Patung ini dikenal sebagai Arca Siwa Mahadewa. Pada masanya, arca ini ditempatkan di dalam candi sebagai lambang penghormatan kepada Dewa Siwa. Coba lihat detail ukirannya—kalian bisa lihat betapa halusnya pahatan tangan para pengrajin masa itu. Mereka tidak hanya membuat arca sebagai karya seni, tetapi juga sebagai bentuk spiritualitas yang mendalam."
Beberapa murid memperhatikan dengan penuh rasa ingin tahu, dan Maheswari melanjutkan,
"Di tangan kanan arca ini, Dewa Siwa memegang trisula, senjata yang melambangkan kehancuran dan perlindungan. Ini menunjukkan bahwa dalam keyakinan Hindu, Dewa Siwa tidak hanya berperan sebagai perusak, tetapi juga pelindung dan penyelamat alam semesta."
Maheswari kemudian memandang sekelompok murid itu,
"Ada nggak di antara kalian yang tahu kenapa patung perunggu ini bisa bertahan selama lebih dari seribu tahun?"
Seorang murid mengangkat tangan dan menjawab ragu-ragu,
"Karena perunggunya kuat?"
Maheswari tersenyum, "Benar! Bahan perunggu memang sangat kuat dan tahan lama. Selain itu, patung-patung ini juga disimpan di dalam candi, terlindungi dari cuaca, sehingga kondisinya bisa tetap terjaga hingga hari ini."
Hal tersebut tak luput dari perhatian Abimanyu. Ia tersenyum melihat antusiasme Maheswari yang sedang menjelaskan sejarah. Terkadang Maheswari menangkap tatapan Abimanyu, namun ia memutusnya duluan.
Abimanyu terkekeh pelan, ketika wajah Maheswari memerah, ia kemudian berjalan ke bagian pendaftaran museum.
"Boleh saya tahu, kalau Mbak Maheswari, kapan ya selesainya?"
Seorang wanita yang sedang duduk di kursi pendaftaran mengangkat wajahnya,
"Oh, biasanya kalau tur sekolah gitu, selesainya sekitar sejam sih mas, tapi tergantung permintaan klien. Ada apa ya mas?"
"Saya mau juga dipandu."
"Ada orang lain sih mas, kalau mau."
Abimanyu menggeleng dan tersenyum.
"Saya mau dia."
"Tapi," penjaga itu melihat ke arah jam dan melanjutkan, "jam operasional kami sebentar lagi selesai."
"Saya akan bayar,"
Penjaga itu menimbang ragu.
"Coba saya telepon dulu."
Abimanyu mengangguk. Ia menanti, tak sadar jari-jarinya mengetuk pelan meja di hadapannya. Ia akan lakukan apa saja untuk mendapatkan moment hanya untuk mereka berdua.
"Apa nggak bisa besok aja mas?" Tanya penjaga itu.
"Saya harus pergi keluar kota malam ini." Ujar Abimanyu berbohong.
Penjaga itu kembali berbicara di telepon, dan mengangguk kemudian mematikannya.
"Boleh mas, tapi karena ini overtime, jadi kena harga agak mahal. Gimana?"
YOU ARE READING
Sasmitaning Wektu
Historische RomaneAbimanyu Nareswara, putra pertama Raden Mas Bumi Anjasmara, sudah beranjak dewasa, menjadi seorang pria yang tampan, bijaksana dan pintar. Namun di umurnya yang sudah matang, ia belum punya seorang calon istri bahkan kekasih sekalipun dan membuat Ka...