Abimanyu memasuki ruang kerja ayahnya, yang kebetulan juga selalu ia pakai untuk mengerjakan sesuatu. Ia melihat beberapa abdi membuka kotak kayu diluar ruang kerja, sedangkan Wira membuka dus yang masih terbungkus oleh bubble wrap.
"Widihh apa nih kangmas? Belanja online?" Tanya Dewandharu ketika melihat kesibukan di hadapannya.
Abimanyu memandang kedatangan adiknya itu sambil mengecek faktur penerimaan.
"Iya, hasil lelang kemarin."
"Bukannya ditabung buat kawin, malah belanja ginian mas." Kata Dewandharu sambil membolak-balikkan buku kuno yang baru saja dikeluarkan dari dus.
"Ya kayak kamu, bukane nabung buat kawin malah beli helm."
Dewandharu mendelik.
"Eitsss itu beda mas."
"Eitss ini juga beda, dek."
Para abdi yang mendengar mereka berdua hanya bisa mesam-mesem. Dewandharu malas menanggapi kangmasnya itu, ia memilih duduk dan melihat para abdi mengeluarkan sesuatu dari box kayu.
"Wooooowwwww." Ucap Dewandharu takjub ketika ia melihat sebuah wadah emas berukir aksara jawa dan berbatu giok. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh benda itu.
Plak!!
Sebuah geplakan keras mendarat di tangannya.
"Pakai sarung tangan. Jangan sampai sidik jarimu menempel." Protes Abimanyu sambil meraih benda itu dan mengangkatnya. Dewandharu cemberut, ia mengambil sarung tangan karet yang disodorkan oleh Aditya.
Abimanyu meletakkan benda kuno itu di meja kerja, dan memandang ukiran yang terpatri disana, sayangnya ia tak bisa membacanya. Ia memang belajar huruf sanskrit, tapi ini sepertinya terlalu kuno.
"Mas, beli berapa kemarin?" Tanya Dewandharu sambil mengusap batu giok yang ada disana.
"Sepuluh." Kata Abimanyu enteng sambil membersihkan debu-debu dengan kuas kecil di tangannya, dan sesekali meniup bekas debu yang masih ada disana.
"Astagfirullaaaaahhh. Mas beli mangkok ginian sepuluh juta???? Hancur hatiku." Kata Dewandharu sambil memegang dadanya seolah sakit jantung.
"Ndak usah berlebihan. Ya itu yang dirasakan kanjeng ibu setiap lihat helm barumu. Helm thok kok nganti sak yuto."
(Helm aja kok sampai sejuta)"Ck terus aja massss dibanding-bandingin."
"Tapi mas, sebenernya kangmas beli ginian buat apa sih?" Tanya Dewandharu lagi sambil mengusap permukaan mangkuk itu yang terbuat dari batu giok.
"Hobby saja sih, kamu khan tahu mas sering berkelana. Ya dengan cara membeli benda kuno."
"Memang kangmas nggak takut kalau nggak balik lagi?"
Berkelana yang dimaksud adalah, Abimanyu bisa pergi ke jaman benda itu diciptakan. Jika benda itu diciptakan beberapa ratus tahun lalu, maka ia akan kembali ke masa itu, dan begitulah mengapa para mahasiswa sangat mencintai dirinya, karena ia mengajar sejarah dengan bercerita dan memberikan informasi yang tidak ada di dalam buku, ya tentu saja atas ijin leluhur, jika tidak, ia akan merubah semua sejarah dan ruang waktu akan kacau.
"Khan mas hanya melihat ke belakang, bukan masuk dan menjadi tokoh dalam sejarah itu."
"Ya siapa tahu lho, kayak rama, mati suri, ngelawan naga putih."
Abimanyu tertawa pelan, ia juga teringat cerita ibunya, Gendhis, ketika ia hilang di dalam kandungan, diperebutkan oleh makhluk halus.
Abimanyu mengambil sebuah pamflet yang terdapat di dalam box kayu tadi.
YOU ARE READING
Sasmitaning Wektu
Historical FictionAbimanyu Nareswara, putra pertama Raden Mas Bumi Anjasmara, sudah beranjak dewasa, menjadi seorang pria yang tampan, bijaksana dan pintar. Namun di umurnya yang sudah matang, ia belum punya seorang calon istri bahkan kekasih sekalipun dan membuat Ka...