9.

419 72 9
                                    


***
Oline POV

Setelah kejadian sepulang sekolah itu, aku kembali ke rumah, merenung di dalam kamar dan memandangi lukisanku yang hampir 5% lagi jadi. Lukisan Erine yang dulu sempat aku buat, sekarang hampir sepenuhnya jadi.

Kata-kata Erine yang dia ucapkan tadi siang selalu berputar-putar di kepalaku. We're just friends? Cinta nggak cuman dari mulut? Obsessed? Jujur, aku memang bodoh soal cinta, yang ahli dalam persoalan cinta... Om Githyo!

Aku memposisikan badanku tengkurap di kasur, lalu baru menelpon Om Githyo, berharap aku bisa meminta solusi untuk mengatasi masalahku, "Halo? Ada apa lin? Ada yang bisa om bantu?"

Baru saja aku mau berbicara, dadaku terasa sesak, setetes air mata jatuh dari mataku dan mulai membasahi pipi, aku sampai tidak percaya dengan diriku, aku menangis gara-gara cinta?

"Om Githyoo, tolongin aku ngadepin perempuan satu ini om, nangis aku dibuat sama dia om, masa aku di suruh introspeksi diri sih? Katanya aku obsessed sama dia om!" ucapku sambil sesegukan dengan tanganku mencoba untuk menghapus air mata yang jatuh di pipi,

"Wow jangan nangis dong, iya om bantuin, kemungkinan sih ya, habis ini, dia nyuekin kamu sampai entah kapan-"

"Kan om! Nggak bisa aku kek gini om, kurang apa lagi aku om? Setia udah, tanggung jawab iya, berduit iya, huaa om!" disini, tangisku semakin menjadi-jadi, memikirkan kenapa perempuan itu atau Erine bisa sejahat itu? "Kurang mahar aja sih." Om Githyo tertawa, hey, ini bukan waktunya untuk ketawa ya!

"Nggak-nggak, om udah ada list buat kamu, list yang pertama! Udah ambil buku belum?" Dengan gerakan cepat tapi masih bergetar, aku mengambil buku kosong yang ada di atas meja belajarku dengan sebuah pulpen di tangan kanan, "Gimana om?"

"Hari pertama, kasih bunga! Lebih tepatnya buket bunga, boleh juga sih yang lainnya, lebih banyak yang kamu kasih lebih bagus," aku segera menulisnya dengan cepat, lalu menyuruh Om Githyo untuk melanjutkan omongannya, "Hari kedua, coba tembak lagi, kalo masih ditolak, kita lanjut hari ketiga,"

Kita melanjutkan mengobrol sampai hampir waktu malam tiba, aku tidak bisa membocorkan hal yang Om Githyo kepada kalian. Demi kelancaran acaraku besok, aku mencoba mencari referensi buket bunga yang cocok, dan aku sudah menemukannya! Doakan ya semua!

-

-

-

-

-

-

Pagi akhirnya tiba, aku siap menyelesaikan hal yang direkomendasikan oleh Om Githyo. Aku sengaja bangun lebih awal agar bisa berangkat lebih awal. Aku berangkat sekitar jam setengah 6 pagi, sepertinya, mamaku sampai kebingungan melihat anaknya bangun sepagi ini, love u mah!

Aku menaiki Serana, bergegas menuju ke toko bunga yang dulu pernah aku lihat sekilas ketika bersama Erine saat aku mengantarnya pulang, aku memilih bunga berwarna pink dan putih, dan juga kertas pembungkus yang berwarna sama. Ibu-ibu penjual ditoko ini juga membungkusnya dengan hati-hati, tak lupa aku menyelipkan surat kecil berisi 'Maafin aku kemarin ya, cantik.'

"Tumben mbak, biasanya tuh ya cowok-cowok yang kesini, pagi-pagi juga kayak mbaknya, pakek seragam, kayaknya mau berangkat ke sekolah mbak. Pas saya tanyain tuh ya, katanya mau dikasih ke pacarnya, mbaknya? Juga ngasih ini ke pacarnya?" ibu-ibu penjaga toko ini bertanya kepadaku sambil membungkus bunga yang tadi aku sudah beli, aku tersenyum tipis, "Doain ya buk, orangnya lagi marah soalnya, saya kasih ini tujuannya biar orangnya maafin saya sih,"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 06 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lampu Merah (Orine)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang