kotak makan panda

11 7 0
                                    


Matahari mulai menembus jendela kamar, menorehkan semburat keemasan di dinding. Nada terbangun dari tidurnya, mata sayu yang perlahan terbuka menyambut cahaya pagi. Dengan gerakan tenang, ia bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Hari ini, seperti biasa, ia memilih busana yang sederhana namun elegan—blazer putih yang membalut tubuhnya dengan rapi, dipadukan dengan rok hitam yang jatuh anggun. Nada selalu memiliki selera yang tidak berlebihan, namun tetap memancarkan pesona.

Sebelum beranjak, ia menyemprotkan minyak wangi yang khas—aroma lembut dengan sentuhan floral, yang melekat dengan kepribadiannya yang tenang namun berkarakter. Di setiap langkahnya, Nada membawa aura yang sulit diabaikan. Meski tampak anggun dan berkelas, ia tak pernah melupakan rutinitas sederhana sebelum berangkat ke kampus: mampir ke tokonya.


Begitu tiba di depan toko, Alan sudah berdiri di sana. Sosoknya terlihat santai, namun tetap menunjukkan tanggung jawab. Nada tersenyum saat melihatnya.

"Alan! Udah nunggu dari tadi, ya? Maaf banget, aku kemarin lupa bilang jam berapa masuk," ucap Nada sambil mendekat.

Alan membalas dengan senyum tipis, matanya berbinar melihat Nada. "It's okay, Nad. Santai aja."

Nada tampak anggun di mata Alan, mungkin lebih dari yang biasa dilihat orang. Ada sesuatu yang berbeda pagi ini—pancaran keyakinan dan ketenangan dari Nada yang membuatnya terpana sejenak. Namun, ia tak mengungkapkan kekagumannya.

Nada tersenyum sambil berbicara lagi. "Alan, aku harus ke kampus dulu, ya. Nanti sepulang kuliah baru bisa bantu kamu di sini."

Alan mengangguk. "Oke, Nada. Tapi... kamu udah sarapan?"

Nada terkekeh kecil, melirik Alan dengan senyum cerah. "Belum, hehe."

Alan tersenyum lebih lebar, seolah sudah menebak jawabannya. "Pas sekali! Aku udah menduganya." Alan lalu mengeluarkan sebuah kotak makan dari balik punggungnya—kotak makan berwarna pastel dengan gambar panda yang lucu di atasnya. "Aku bawakan kamu sarapan. Nggak mungkin biarin kamu pergi kuliah tanpa makan, kan?"

Nada tertawa pelan, menatap kotak makan itu dengan rasa hangat di hatinya. "Makasih, Alan. Kamu selalu bisa nebak aku."

"Semangat, Nad. Semoga harimu menyenangkan!" ucap Alan sebelum Nada melangkah pergi, dengan suara yang lembut namun penuh perhatian. "See you."

Nada berjalan menjauh, tetapi ada senyum tipis yang tak kunjung hilang dari wajahnya. Kehadiran Alan, dengan cara yang begitu sederhana namun bermakna, telah memberi warna lain pada paginya. Di setiap langkah yang diambil menuju kampus, pikirannya berkelana, merasa bahwa hari ini akan berbeda bahwa mungkin, di antara kesibukan dan perjuangannya, ada hal-hal kecil yang membuat segalanya terasa lebih berharga.

Setelah Nada berangkat menuju kampus, Alan kembali masuk ke dalam toko. Udara pagi yang sejuk berhembus perlahan, membelai wajahnya yang serius. Ia mulai menjalankan tugasnya sebagai penjaga toko, memastikan semua siap untuk para pelanggan yang datang, dari rak kue yang tertata rapi hingga aroma manis yang menyebar memenuhi ruangan.

Di sela-sela kesibukan, Alan duduk di belakang kasir. Pikirannya teralihkan oleh suara notifikasi di ponselnya. Ia membuka Twitter, hanya untuk disambut dengan linimasa yang dipenuhi oleh satu topik yang sedang menjadi perbincangan panas. Mata Alan terpaku pada satu nama yang langsung menarik perhatiannya—Nada.

Videonya sedang viral, di mana Nada berdiri di depan gedung DPR, suaranya tegas dan lantang. Alan memutar videonya, melihat Nada dengan penuh semangat berbicara di hadapan kerumunan.

"Katanya Dewan Perwakilan Rakyat, tapi mana buktinya? Gak pernah keliatan kerja! Makan gaji buta, ya?" Nada berteriak penuh gairah, menggemakan rasa frustrasi yang sama dengan banyak orang di negeri ini.

Alan menahan napas sejenak, matanya tak lepas dari layar. Sebuah senyum kecil terulas di bibirnya, disertai gelengan kepala yang lembut.

Dalam hatinya, ia bergumam, "Gua kerja, kok. Gak makan gaji buta..." Tentu saja, Nada tidak tahu kebenaran yang disembunyikannya. Ironi itu begitu nyata. Di hadapannya, Nada berjuang keras, mengkritik sistem yang selama ini ia coba ubah dari dalam, tanpa pernah benar-benar terlihat.

Nada selalu begitu: berani, tanpa basa-basi, langsung menyuarakan apa yang ada di hatinya. Dan itu yang membuat Alan semakin kagum, sekaligus terjebak dalam dilema. Di satu sisi, ia merasa terhormat melihat gadis yang ia kenal ini berdiri di garis depan, memperjuangkan apa yang dianggap benar. Di sisi lain, ia tahu bahwa perjuangannya dari balik layar mungkin akan membuat segalanya tampak bertentangan dengan citra yang Nada yakini.

Alan mendesah pelan, tatapannya tetap terfokus pada video yang berulang kali diputar di media sosial. Di sela-sela rutinitasnya menjaga toko, pikirannya melayang jauh, memikirkan bagaimana langkahnya ke depan—sebagai seorang Ketua DPR yang harus tetap tersembunyi di balik topengnya, dan sebagai pria yang, entah bagaimana, mulai terikat oleh rasa ingin melindungi Nada, meski dari jauh.

"Semua akan terungkap pada waktunya," bisiknya pada dirinya sendiri. Namun, untuk sekarang, ia hanya bisa membiarkan rahasia itu tetap ada di tempatnya, di antara hiruk pikuk media sosial yang semakin menggila.Alan kembali memandang pintu toko, menunggu kedatangan pelanggan berikutnya, tetapi pikirannya tetap terperangkap dalam bayangan Nada—dan bagaimana dunia ini, sedikit demi sedikit, mempertemukan mereka dengan cara yang semakin rumit.

Suara NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang