Khawatir

10 7 0
                                    


Alan tidak beranjak dari tempat duduknya di ruang UGD, meski waktu terus berlalu. Matanya tak pernah lepas dari sosok Nada yang terbaring lemah di ranjang. Meski rasa sakit tampak jelas di wajahnya, Nada tetap menyunggingkan senyum, seolah mencoba menenangkan Alan yang tampak khawatir. Di balik senyum itu, ada ketegaran yang selalu membuat Alan kagum, tapi kali ini, ada sedikit perasaan was-was yang mengusik hatinya.

Alan akhirnya memecah keheningan. "Gimana bisa sih, Nad? Apa yang sebenernya terjadi tadi?"

Nada menoleh sedikit, masih dengan senyumnya. "Hehe, biasa, cuma orasi depan Gedung DPR. Lo tau lah, nggak pertama kalinya begini."

Nada tertawa kecil, seakan luka yang ia alami hanya angin lalu. "Kalo lo mau temenan sama gue, lo harus siap sama hal-hal kayak gini. Jangan kaget, ya."

Alan menatapnya lebih dalam, hatinya berdebar tak karuan. "Itu bagus, Nad, lo punya semangat. Tapi jangan sampe lo ngebahayain diri sendiri. Lo tau kan, orang-orang terdekat lo bakal khawatir kalo lo terus kayak gini."

Nada mengangkat alisnya, lalu tersenyum licik. "Oooh, lo juga khawatir, ya? Hahaha."

Alan tertawa kecil, tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang tak bisa ia katakan. Rasa khawatirnya lebih besar dari sekadar teman yang mengkhawatirkan. Nada telah menyusup ke dalam setiap relung pikirannya, dan malam itu, di ruang UGD yang sunyi, Alan menyadari betapa ia tak ingin kehilangan Nada, bukan hanya sebagai teman... tapi lebih dari itu.

Nada mengerling ke arah Alan, matanya berbinar meski tubuhnya terasa lelah. "Tenang aja, gue bakal baik-baik aja. Gue kan udah sering begini."
Tapi Alan tahu, setiap detik terasa berbeda. Nada bukan hanya aktivis biasa baginya. Dia adalah gadis yang, dengan segala ketegaran dan keberaniannya, telah menyentuh bagian terdalam hati Alan yang bahkan dia sendiri tak pernah sadari sebelumnya.


Tiba tiba a;an memecahkan keheningan dengan bertanya"Ngomong-ngomong, lo udah makan malam belum, Nad?" tanya Alan, berusaha terdengar santai.

Nada tersenyum samar. "Udah."

Alan mengernyit, matanya menelisik wajah Nada. "Kapan udahnya? Gue tanya serius, Nad."

Nada menghela napas, berusaha keras untuk tidak menunjukkan rasa sakit yang masih ia rasakan. "Siang tadi..."

Alan menatapnya tajam, sedikit tidak sabar. "Siang tadi? Itu namanya belum makan malam. Yaudah, tunggu sebentar, gue beliin makanan dulu. Lo mau apa?" tanya Alan dengan suara yang lebih lembut.

Nada menggeleng. "Apa aja, gue gak milih."

Alan tersenyum tipis, lalu dengan gerakan lembut, ia mengusap rambut Nada pelan. "Tunggu di sini, jangan kemana-mana," ucapnya, seakan Nada bisa pergi ke mana pun dari ranjang itu. Nada hanya tersenyum kecil melihat kekhawatiran Alan yang berlebihan.

Saat Alan hendak melangkah keluar ruangan, tiba-tiba Nada sedikit berteriak, "Lan, hati-hati ya!"

Alan berhenti sejenak, menoleh ke belakang, memberikan senyum menenangkan. "Tenang aja, gue bakal balik cepet," katanya, sebelum benar-benar melangkah keluar pintu.

Namun, di dalam hatinya, Alan merasakan ketegangan yang tidak ia mengerti. Ada sesuatu tentang Nada yang membuatnya semakin ingin melindungi gadis itu, lebih dari sekadar menjaga jarak aman seorang teman.

Suara NadaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang